Rabu, 02 Juni 2010

Diplomasi Publik Dalam Penyelesaian Sengketa antara Pemerintah Republik Indonesia-GAM

oleh: Adita Bella Lastania
209000086

BAB 1
Latar Belakang Masalah

Konflik internal yang muncul di suatu negara merupakan dampak dari kebijakan pemerintah yang dianggap kurang berpihak bagi masyarakatnya. Nangroe Aceh Darussalam atau Aceh merupakan provinsi yang memberikan kontribusi besar terhadap pemerintah Indonesia. Kontribusi tersebut berupa sumber daya alam mineral LNG dan minyak bumi. Namun kontribusi yang diberikan Aceh tidak sebanding dengan kebijakan pemerintah yang dianggap banyak menuai kekecewaan bagi masyarakat Aceh dan bahkan dianggap tidak berpihak bagi masyarakat Aceh sendiri.
Kekecewaan tersebut terlihat saat pemerintah Indonesia dianggap kurang dapat melindungi kepentingan dan keberadaan identitas agama islam yang begitu kuat di Aceh. Kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat Aceh pada masa pemerintahan sebelumnya juga menambah panjang rentetan gejolak yang terjadi di Aceh. Contoh kebijakan tersebut adalah menjadikan Aceh sebagai bagian dari provinsi Sumatera Utara. Jika ditinjau dari latar sejarah dan sosio-kultural masyarakat Aceh dan Sumatera Utara jelas memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Pada tahun 1959 Aceh menyandang status sebagai daerah istimewah atas dasar UU No. 1 tahun 1957. Dengan gelar sebagai daerah istimewah ini Aceh diperlakukan sama layaknya dengan provinsi lain di Indonesia namun, kebijakan pemerintah ini tidak membuat rakyat Aceh menerima mentah-mentah. Konflik yang bergejolak di Nangroe Aceh Darussalam semakin berkembang. Apalagi dengan adanya gerakan separatis GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang terus melakukan penekanan terhadap pemerintah Indonesia untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
GAM (Gerakan Aceh Merdeka) merupakan gerakan separatis rakyat Aceh yang menginginkan adanya pemerintahan sendiri (self government) di tanah Nangroe Aceh Darussalam. Awalnya GAM merupakan suatu gerakan yang digawangi oleh Daud Beureu. Daud Beureu bergabung dengan Kartosuwiryo, melalui DI/TII ia ingin memisahkan diri dari NKRI. Namun pada tanggal 15 Agustus 1961 secara sepihak Daud Beureu memproklamirkan ‘Republik Islam Aceh’ akibat kekecewaanya atas kinerja DI/TII yang dianggap tidak lagi sejalan dengan cita-cita awal. Paa tahun 1962 perjuangan Daud Beureu untuk memendirikan ‘Republik Islam Aceh’ dilanjutkan oleh Teungku Hasan Di Tiro dan melahirkan sebuah gerakan yang dikenal dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) pada tahun 1972. GAM melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah dengan melakukan pemberontakan-pemberontakan yang mengarah pada konflik disintegrasi dengan mengangkat senjata melawan pemerintah yang berwenang.
Konflik antara RI-GAM merupakan konflik yang berkepanjangan. Terlebih lagi pada masa itu pemerintah pusat menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun1989. Dengan adanya penetapan DOM ini, semakin memperburuk catatan hubungan antara pemerintah pusat dengan masyarakat Aceh dan juga GAM. Berbagai upaya telah di tempuh untuk menciptakan Aceh yang damai tanpa adanya pertikaian senjata antara TNI/POLRI dan GAM. Di antara upaya-upaya damai yang bisa tercatat misalnya : Pemberlakuan Jeda Kemanusian selama dua periode, Moratorium atau penghentian kekerasan, Perjanjian Penghentian Tindak Permusuhan, Operasi Terpadu TNI, dan pertemuan Tokyo untuk kesepakatan damai pada 18 Mei 2003 namun, semua upaya tersebut gagal. Pemerintah Indonesia selalu mendapat kendala dalam melanjutkan komunikasi dengan pihak GAM. Terlebih lagi Hasan Tiro, pucuk pimpinan GAM memperoleh suaka dari pemerintah Swedia. Hal ini mempersulit upaya damai yang dicita-citakan untuk terwujud. Belum lagi pasukan militan GAM yang dianggap terlalu akresif dalam melakukan penyerangan terhadap TNI/POLRI di Aceh semakin menyulitkan pihak pemerintah Indonesia.
Dalam penyelesaian konflik yang terjadi antara Pemerintah Indonesia- GAM, tidak dapat dipungkiri adanya keterlibatan aktor lain yang juga membantu upaya damai untuk kedua belah pihak. Munculnya upaya melalui diplomasi publik untuk mencapai kesepakatan damai di Helsinki merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan diplomasi jalur pertama yang dilakukan oleh wakil-wakil pemerintah Indonesia. Seolah tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama pada saat konflik di Timor-Timur pemerintah Indonesia lebih berhati-hati dan tidak menyia-nyiakan kesempatan upaya damai di Aceh melalui diplomasi publik. Hal yang penting adalah melalui diplomasi publik, banyak jalur yang dapat dimanfaatkan diluar pemerintah (multitrack diplomacy). Institusi-institusi lain seperti The Henry Dunant Centre yang juga turut memberikan kontribusi dalam mengajak pimpinan GAM di Swedia untuk melakukan perundingan Helsinki
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka, rumusan masalah dalam makalah ini “Bagaimana diplomasi publik berperan dalam penyelesaian sengketa RI-GAM dengan adanya non-state aktor dalam penyelesaian konflik tersebut?”
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah makalah “Diplomasi Publik Dalam Penyelesaian Sengketa Pemerintah Indonesia-GAM” adalah :
1. Menganalisa konflik yang terjadi anatara pemerintah RI–GAM.
2. Menganalisa bagaimana diplomasi publik berperan dalam penyelesaian sengketa RI-GAM.
3. Menganalisa peranan aktor non negara dalam diplomasi publik dalam penyelesaian sengketa RI-GAM
Kerangka Teoritis
Diplomasi publik merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam diplomasi jalur pertama yang dilakukan wakil-wakil negara. Munculnya non-state actors sebagai pihak yang berdiplomasi maupun sebagai pihak ketiga yang membantu berjalannya diplomasi. Diplomasi publik banyak dimanfaatkan untuk menyelesaikan konflik dalam era teknologi dan informasi saat ini. Pengertian Diplomasi publik sendiri adalah diplomasi yang dijalankan bukan hanya oleh negara sebagai aktor utama melainkan juga melalui aktor-aktor selain negara dan memanfaatkan berbagai sarana dalam menunjang keberhasilan diplomasi tersebut. Josep Montville memperkenalkan konsep Public Diplomacy yang menjelaskan keterlibatan publik yang terdiri dari warga negara biasa atau individu di luar struktur pemerintahan dalam diplomasi. Dalam kerangka konsep yang dikemukakan oleh Josep Montville masyarakat atau individu yang memiliki keahlian serta pengetahuan dan pengalaman yang berbeda dapat memberikan kontribusi pemikiran untuk membuat suatu perubahan untuk membuat dunia yang lebih baik.



BAB II
Pembahasan
Konflik Pemerintah Indonesia-GAM
Konflik yang bergejolak antara pemerintah Indonesia-GAM memang terjadi sejak dideklarasikannya gerakan separatisme ini. Semakin lama semakin berkembang dan puncaknya adalah saat Aceh ditetapkan sebagai DOM oleh pemerintah pada masa orde baru dan larinya pucuk pimpinan GAM, Teungku Hasan Di Tiro ke Swedia. Keadaan di Aceh semakin mencekam, banyak korban yang jatuh dari pihak TNI/POLRI dan juga dari puhak GAM. Melihat kenyataan ini opini yang berkembang di masyarakat baik itu di dalam negeri maupun di dunia internasional, selalu memojokan pemerintah yang dianggap tidak serius dalam menciptakan perdamaian di Aceh. Opini publik yang berkembang dianggap selalu menghujat pemerintah Indonesia terlebih lagi setelah gagalnya pemerintah Indonesia dalam mempertahan kan kedaulatannya di Timor-Timur. Setiap langkah dan kebijakan pemerintah Indonesia dipandang sebagai kebijakan yanng merugikan masyarakat Aceh. GAM mendapatkan tempat bagi sebagian masyarakat Aceh yang kecewa dengan pemerintah pada masa itu. GAM ingin memisahkan diri dari pemerintahan yang sah dan mendirikan suatu negara yang berlandaskan hukum islam.
Pemerintah Republik Indonesia berupaya agar dapat membendung setiap perlawanan yang dilancarkan oleh GAM. Beberapa kali pasukan TNI/POLRI terlibat dalam kontak senjata dengan tentara militan GAM. Selama beberapa tahun tentara militan GAM terus menyerang TNI/POLRI, begitu juga sebaliknya. Setelah banyaknya sorotan yang tajam terhadapa konflik di Aceh, pemerintah Indonesia lebih berhati-hati dalam menentukan sikap. Pemerintah Indonesia berusaha untuk mendengarkan Opini yang berkembang di masyarakat luas, dan juga berusaha untuk menggalang dukungan dari publik untuk membantu upaya-upaya damai dengan pihak GAM.Kaburnya pimpinan GAM, Hasan Tiro ke Swedia membuat pemerintah Indonesia menghadapi jalan buntu dalam mengupayakan segala bentuk perdamaian di Aceh. Selama ini dapat dikatakan bahwa GAM disetir oleh orang-orang yang tidak terjun langsung dalam konflik di Aceh. Para pimpinan GAM justru berdomisili di beberapa negara dan bukan di Aceh. Bukti ini membuat pemerintah semakin tercoreng namanya dimata publik, apalagi dengan adanya pemberitaan tentang kekerasan yang terjadi selama konflik ini berlangsung.
Pelanggaran HAM di Aceh
Awalnya GAM merupakan suatu gerakan separatis yang melawan pemerintahan yang sah dengan berorientasikan ideologi agama, lalu orientasi ideologi agama tersebut berubah menjadi suatu ideologi pembebasan tatkala sejumlah gerakan-gerakan pemberontakan di berbagai negara menjadikannya sebagai nafas perjuangannya. Lalu diawal tahun 1990an GAM merubah orientasi ideologinya menjadi ideiologi HAM dan demokrasi. Hal ini dipengaruh oleh wacana politik global pada saat itu yang gencanr membicarakan HAM dan demokrasi. Setiap Konflik tentunya akan melahirkan kekerasan, penderitaan serta masalah-masalah kemanusian lainnya. Selama konflik berlangsung, korban yang meninggal dan juga luka banyak berjatuhan di kedua belah pihak. Tidak dapat dipungkiri dugaan-dugaan pelanggaran Hak Azazi Manusia (HAM) pun muncul. Selama ini pihak GAM menuduh bahwa pemerintah Indonesia melalui TNI/POLRI telah banyak melakukan pelanggaran HAM terhadap pasukan GAM maupun masyarakat Aceh sendiri. Hal ini mencul diakibatkan operasi militer yang dilakukan oleh TNI/POLRI dianggap tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. TNI/POLRI dianggap sewenang-wenang dan melakukan penyiksaan terhadap militan GAM. Seperti yang dilaporkan oleh The Henry Dunant Centre:
“Sejak negosisasi antara pemerintah Indonesiadengan GAM di Tokyopada bulan Mei 2003, hukum darurat diberlakukandi Aceh. Sejak saat itu, menurut sumber militer Indonesia, kurang lebih 1100 angota GAM meninggal, bersama dengan 65 orang anggota TNI dan Polisi, dan lebih dari 300 korban sipil. 1800 orang yang dicurigai sebagai anggota GAM teal dipenjara, sementara 5 orang negosiator resmi GAM telah dijatuhi hukuman an\ntara 14-18 tahun penjara. Sebuah sumber dari organisasi kemanuasiaan melaporkan sejumlah 600 sekolah telah dibakar dalam periode yang sama, lebih dari 100.000 orang kehilangan tempat tinggal dan menjadi pengungsi, selain 14.000 orang yang tetap sebagai pengungsi” (The Henry Dunant Centre: Report 2005)
Dalam hal ini KOMNAS HAM sebagai satu-satunya badan yang mengurus permasalahan HAM di Indonesia dianggap telah gagal dalam melakukan tugasnya. Sorotan dari dunia internasional semakin tajam menanggapi masalah tersebut. Dunia internasional terus menyoroti perkembangan yang terjadi di Aceh, karena munculnya dugaan-dugaan pelanggaran HAM yang ditujukan kepada pemerintah RI.

Upaya Dalam Penyelesaian Konflik RI-GAM
Sebagai pucuk pemerintahan yang sah, pemerintah Indonesia berupaya untuk mengajak GAM duduk bersama di meja perundingan. Hal ini telah diupayakan oleh pemerintah setelah sorotan yang tajam akan peristiwa yang terjadi di Aceh. Seolah tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama terhadap kasus Timor-Timur, pemerintah Indonesia kian memanfaatkan segala peluang yang ada untuk mendiskusikan kesepakatan damai dengan GAM. Sebelumnya memang pernah diadakan kesepakan antara pihak RI-GAM namun hasil perundingan tersebut gagal.
Pemerintah Indonesia berusaha untuk melobi pihak GAM agar bersedia berunding dengan pemerintah Indonesia. Seperti saat sebelumnya, untuk mendudukan GAM ke dalam meja perundingan bukanlah hal yang gampang, dikarenakan pucuk pimpinan GAM berada di Swedia. Pemerintah Indonesia melakukan kontak secara personal dengan para pemimpin GAM yang berada di luar negeri. Pemerintah Indonesia mengupayakan agar pimpinan GAM yang berada di Swedia bersedia bertemu untuk membahas kesepakatan damai. Lalu pada tanggal 28 Januari 2005 pemerintah Republik Indonesia di pimpin oleh Hamid Awaludin sebagai ketua delegasi, melakukan perundingan di Helsinki, Finlandia bersama dengan para petinggi GAM yang diketuai Malik Mahmud. Ini merupakan perundingan putaran pertama yang dilakukan kedua belah pihak. Sebelumnya pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk melakukan perundingan ini. Perundingan ini berjalan sebanyak lima putaran dan melibatkan bukan hanya dari pihak RI-GAM tetapi juga melibatkan Crisis Management Initiative (CMI), The Hendry Dunant Center dan mantan presiden Finlandia Martti Ihtisaari sebagai mediator.
Dalam perundingan yang berlangsung di Helsinki, Finlandia, delegasi yang mewakili pemerintah Indonesia berusaha untuk membicarakan permasalahan di Aceh dengan pihak GAM. Perundingan putaran kedua berlangsunng pada tanggal 21 Februari 2005 dan menghasilkan kesepakatan, bahwa perundingan selanjutnya akan membicarakan agenda tentang pemilu di Aceh, integrasi dan kompensasi. Selanjutnya perundingan putaran ketiga dilaksanakan pada tanggal 12 April 2005, pada putaran ini pemerintah Indonesia menyetujui adanya pihak yang akan melakukan monitoring sehubungan dengan jalannya perundingan damai antara pemerintah dan GAM. Perundingan putaran keempat berlangsung pada tanggal 26 Mei 2005 dan putaran terakhir, putaran kelima berlangsung pada tanggal 12-17 Juli 2005. Pada putan kelima pemerintah Indonesia dan GAM sepakat membicarakan tentang naskah MoU tentang kesepakatan damai. Lalu penandatanganan nota kesepahaman anatara pemerintah Republik Indonesia dan GAM dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus 2005. Dengan penandatanganan yang kesepakatan damai ini kedua belah pihak sepakat untuk mengakhiri konflik yang berlangsung di Aceh selama ini.
Diplomasi Publik Dalam Penyelesaian Konflik RI-GAM
Negosiasi dalam perundingan merupakan tahapan dalam sebuah penyelesaian sengketa yang terjadi. Pemerintah di suatu negara tentu akan berupaya dalam mempertahankan keutuhan wilayahnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam konflik RI-GAM, pemerintah Indonesia ingin mengupayakan untuk mengajak pihak GAM berunding dalam menciptakan perdamain di Aceh dan mengakhiri konflik yang selama ini berlangsung. Dalam hal ini pemerintah Indonesia berusaha menumbuhkan citra yang baik dimata dunia Internasional dan GAM dengan mengupayakan penyelesaian konflik di meja berundingan.
Dalam era informasi dan teknologi saat ini negosiasi melalui diplomasi publik merupakan cara yang efektif dalam penyelesaian suatu konflik. Keterlibatan masyarakat dalam menilai dan membantu berjalannya proses perundingan yang dilakukan para wakil-wakil negara akan berdampak positif bagi keberhasilan sebuah perundingan. Diplomasi publik bukan berarti menggantikan, tetapi justru melengkapi berjalanya diplomasi tradisional. Banyak anggapan bahwa diplomasi publik membuka jalan negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan masukan-masukan melalui informasi dan memberikan pandangan yang berbeda terhadap suatu masalah. Selain itu, keterlibatan aktor-aktor lain diluar pemerintah memberikan pengaruh yang besar terhadap keberhasilan negosiasi tersebut.
Dalam penyelesaian konflik RI-GAM tidak dapat dipungkiri keberhasilan pemerintah dalam mengajak GAM untuk berunding karena adanya beberapa aktor yang turut membantu. Dapat dilihat dengan adanya mediator dalam perundingan yang berlangsung di Helsinki dari putaran awal hingga penandatanganan kesepakatan damai, membuat negosiasi ini berjalan efektif. Pihak yang menjadi mediator dalam mendudukan kedua pihak yang berkonflik menunjukan adanya multitrack diplomcy yang dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemerintah Indonesia. Keterlibatan The Hendry Dunant Centre, CMI, Martti Ikhtisaari dan juga media masa merupakan bukti nyata bahwa aktor-aktor non negara pun kini mengambil peranan yang penting. Mereka tidak ikut serta dalam mengambil keputusan namun, mereka berusaha memantau berjalannya negosiasi antara pihak yang bersengketa dan mempertemukannya. Faktor penentu keberhasilan lainnya adalah keterlibatan media masa dalam membentuk opini publik tentang perundingan perdamaian antara RI-GAM. Tidak sedikit dari pihak media masa dalam maupun internasional memberikan komentar-komentar serta masukan kepada pemerintah Indonesia.
Dalam diplomasi publik juga dibutuhkan pengumpulan data dan informasi serta masukan dari publik. Selain itu, komunikasi antara pihak yang bersengketa dan juga para mediator agar tidak terjadi kesalah pahaman dan meningkatkan trust di masing-masing pihak. Hal ini sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, sebelum perundingan dilakukan di Helsinki, pemerintah Indonesia telah melakukan kontak secara personal dengan pihak GAM yang berada di luar negeri. Pemerintah Indonesia memberikan ruang kepada pihak GAM agar dapat mempercayai pemerintah Indonesia terlebih tsunami di Aceh yang diberitakan oleh media masa baik didalam maupun internasional termasuk masalah sensitif pada saat itu yang turut membantu dalam membujuk GAM untuk melakukan perundingan dengan pemerintah Indonesia.
The Henry Dunant Centre turut memberikan kontribusinya dalam mempertemukan pemerintah Indonesia dengan pimpinan GAM di Swedia. The Henry Dunant Centre membujuk pihak GAM yang berada di Swedia untuk berunding dengan pemerintah Indonesia. Mantan presiden Martti Ahtisaari juga berperan besar dalam perundingan ini. Beliau merupakan pihak mediator, serta menawarkan agar perundingan dilakukan di negaranya di Finlandia. Selama
Jadi singkatnya dalam penyelesaian konflik antara pemerintah RI-GAM diplomasi publik amat berperan dalam membantu penyelesaian sengketa dan ikut mensukseskan berjalannya perundingan di Helsinki. Pihak-pihak yang berperan besar dalam penyelesaian sengketa antara pemerintah RI-GAM adalah:
1. Pemerintah Indonesia dan GAM, jelas pemerintah Indonesia berupaya untuk membuat kesepakatan damai dengan pihak GAM, keseriusan tersebut dibuktikan dengan melakukan perundingan dengan pihak GAM. Kesedian GAM untuk berunding dengan pemerintah Indonesia memberikan dampak positive bagi perbaikan hubungan antar kedua belah pihak.
2. NGO (Non-Govermental Organization), dalam hal ini The Hendry Dunant Centre dan juga CMI. Kedua lembaga ini merupakan organisasi yang membantu untuk mempertemukan pemerintah Indonesia dan pemimpin GAM yang berada di Swedia. CMI juga membantu memonitor jalannya kesepakatan damai di Aceh.
3. Individu, dengan adanya pihak individu sebagai mediator dalam penyelesaian konflik dapat memberikan sebuah pandangan yang baru terhadap sebuah permasalahan. Mantan presiden Finlandia Marttii Ahtisaari, merupakan mediator dalam penyelesaian sengketa antara Indonesia dan GAM.
4. Media Masa, seperti kutipan yang diambil dari Napoleon Bonaparte “Sebuah pena dapat lebih berbahaya dari seribu bayonet” benar adanya. Media masa berperan aktif dalam membentuk opini yang berkembang di tengah masyarakat. Melalu media masa pemerintah Indonesia dapat memperoleh pandangan yang berbeda. Informasi tersebut berguna dan dapat menentukan suatu kebijakan yang akan diambil nantinya.
















BAB III
Kesimpulan
Pada dasarnya kemajuan teknologi dan informasi saat ini membuat negara bukan lagi sebagai aktor tunggal dalam melakukan negosiasi. Munculnya aktor-aktor selain pemerintah merupakan bukti bahwa diplomasi yang berkembang saat ini bukan diplomasi yang berorientasi statesentris. Diplomasi publik yang memanfaatkan banyak jalur (multitrack diplomacy) merupakan cara yang efektif yang banyak dipergunakan untuk menyelesaikan konflik.
Dalam penyelesaian konflik antara pemerintah Indonesia dan GAM, diplomasi publik dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh pemerintah Indonesia. Berbeda saat konflik yang terjadi di Timor-Timur, pemerintah Indonesia cenderung mengabaikan pentingnya diplomasi publik. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya aktor-aktor lain yang membantu penyelesaian konflik RI-GAM. Kehadiran The Henry Dunant centre dan mantan presiden Finlandia Martti Ahtisaari sebagai mediator perundingan di Helsinki, serta adanya kehadiran CMI sebagai pihak yang memonitoring merupakan bukti bahwa pemerintah Indonesia memanfaatkan diplomasi publik secara efektif. Dari awal perundingan hingga penandatanganan kesepakatan damai antara pihak pemerintah Indonesia dan GAM, Indonesia melakukan pendekatan dengan pihak GAM secara personal. Pemerintah juga terbukti melakukan agregasi informasi untuk mengupayakan pihak GAM melakukan perundingan dengan pihak Indonesia. Dengan melakukan komunikasi yang intensif dengan pihak-pihak GAM maupun pihak yang turut membantu berjalannya perundingan di Helsinki. Dengan kata lain peranan aktor non negara dalam penyelesaian konflik di meja perundingan memberikan hasil yang optimal bagi kedua belah pihak.
Seperti yang telah disebutkan bahwa keberhasilan penyelesaian konflik antara pemerintah Indonesia dan GAM tidak terlepas akibat adanya peranan diplomasi publik yang dimanfaatkan oleh pemerintah dan juga adanya aktor non negara yang turut membantu. Melihat hal ini dapat disimpulkan kesuksesan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) anatara kedua belah pihak tidak terlepas dari pihak-pihak yang berperan besar antara lain :
1. Pemerintah dan GAM sebagai pihak yang melakukan perundingan.
2. NGO (Non-Govermental Organization), Seperti The Henry Dunant Centre, dan CMI. The Henry Dunant Centre berperan sebagai fasilitator yang mempertemukan pimpinan GAM yang berada di Swedia dengan pihak Indonesia. CMI yang berperan sebagai pihak yang memonitoring berjalannya perundingan di Helsinki.
3. Individu, adanya pihak mediator dari mantan presiden Martti Ahtisaari sebagai pihak mediator.
4. Media masa, berperan dalam penyampaian informasi yang dapat membantu pemerintah dalam menentukan sikap dan memberikan pandangan yang berbeda dalam konflik anatara pemerintah RI-GAM.
















DAFTAR PUSTAKA
Buku
Awaludin,Hamid. Damai Di Aceh Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinki. Yogyakarta: CSIS, Cet II, 2008.
Djelantik, Sukawarsini. Diplomasi Antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2008.
Website
http://www.hdcentre.org/projects/aceh-indonesia
http://www.hrw.org/en/reports/2001/08/01/indonesia-war-aceh
http://www.hrw.org/en/reports/2003/06/05/aceh-under-martial-law-human-rights-under-fire
http://www.hrw.org/en/news/2002/03/14/poor-work-indonesian-rights-commission-aceh
Jurnal
Human Right Watch/Asia Report, The Limit of Opennes, Human Right in Indonesia and East Timor, Washington D.C, 1994

1 komentar:

  1. interesting article, namun pembahasan tentang bagaimana diplomasi publik dilakukan sangat minim dan hanya fokus pada identifikas aktor pelaku. Pembahasan tentang dinamika diplomasi publik hanya terbatas dibandingkan latar belakang konflik,

    BalasHapus