Rabu, 02 Juni 2010

PROSES PENYELESAIAN KONFLIK BILATERAL ANTARA INDONESIA-MALAYSIA: PERSENGKETAAN PULAU AMBALAT.

Indriyani Putri
205000155

LATAR BELAKANG

Malaysia dan Indonesia adalah dua buah Negara yang saling bertetanggaan. Tetapi walaupun kedua Negara tersebut bertetangga, mereka sering mengalami masalah atau konflik. Salah satu konflik yang dihadapi oleh kedua Negara tesebut adalah mengenai perebutan suatu pulau bernama Ambalat. Masalah ini muncul ketika pihak dari Malaysia yaitu Tentara Laut Diraja Malaysia memanuver di Blok Ambalat, kawasan yang dipersengketakan di laut Sulawesi. Kejadian ini dimulai pada tahun 2005. Pulau Ambalat ini merupakan kawasan yang kaya akan minyak. Maka dari itu Malaysia sangat menginginkan kawasan tersebut menjadi miliknya. Pada waktu itu, Malaysia mengklaim Blok Ambalat.
Pemerintah Indonesia yang pada waktu itu mendengar berita pengklaiman terhadap pulau tersebut, menjadi marah dan bereaksi keras terhadap Malaysia, karena Malaysia mengklaim pulau tersebut secara sepihak saja. Hal ini tentunya sangat merugikan serta mengecewakan Negara Indonesia sendiri. Karena sebenarnya pulau Ambalat merupakan wilayah milik Indonesia, hal ini berdasarkan UNCLOS 1992. Dalam kasus ini, Malaysia telah bertindak sangat jauh karena ia menawarkan kawasan ini kepada perusahaan minyak multinasional, yaitu perusahaan Shell, yang berasal dari Amerika.
Indonesia tidak menerima tentang adanya klaim secara sepihak, karena secara hukum Indonesia telah sah memiliki Blok Ambalat. Dan kawasan tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Cara pengklaiman sepihak yang dilakukan oleh pihak Malaysia tersebut dapat dikatakan terlalu berani. Negara tersebut memang sering memandang sebelah mata terhadap Negara Indonesia. Sehingga Negara tersebut sering meremehkan Indonesia.
Sebelum ada konflik perebutan pulau Ambalat ini, sebenarnya kedua Negara tersebut juga sempat mengalami kejadian yang berhubungan dengan perebutan kawasan, yaitu soal sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Pada kala itu, Indonesia mengalami kekalahan, ia kalah berpekara di Mahkamah Internasional karena soal ini. Dengan kekalahan ini, Indonesia akhirnya menjadi sangat trauma.


PERUMUSAN MASALAH

Pembahasan mengenai “Proses Penyelesaian Konflik Bilateral Antara Indonesia-Malaysia: Persengketaan Pulau Ambalat, Laut Sulawesi, Tahun 2005” ini akan terangkum dalam perumusan masalah sebagai berikut:
1.Apa yang menyebabkan terjadinya perebutan pulau Ambalat?
2.Bagaimana kedua Negara yang bersangkutan tersebut menyelesaikan masalah ini?
3.Bagaimana masing-masing pihak (Indonesia & Malaysia) menilai atau memandang kasus ini?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi acuan saya dalam melakukan pembahasan mengenai persengketaan Pulau Ambalat antara negara Indonesia dan Malaysia. Segala aspek yang terkait didalamnya akan saya coba jelaskan sejelas mungkin.


PEMBAHASAN

Kedua Negara yang saling bertetanggaan ini, yaitu Indonesia dan Malaysia, sudah mulai berkonflik sejak tahun 1962. Tepatnya pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Abdul Rahman. Konflik tersebut terjadi selama empat tahun (1962-1966). Konflik ini bermula ketika Malaysia ingin menggabungkan Sarawak, Brunei dan Sabah dengan persekutuan Tanah Melayu. Tetapi keinginan Malaysia tersebut mendapat pertentangan dari Presiden Soekarno. Ia sangat tidak setuju terhadap keinginan Malaysia yang ingin menggabungkan ketiga kawasan tersebut kedalam Tanah Melayu. Presiden Soekarno beranggapan bahwa, Malaysia adalah Negara “boneka” Britania. Dan dari saat itulah kedua Negara tersebut mulai berkonfrontasi. Terjadi demo besar-besaran di Malaysia yang menyatakan anti-Indonesia. Demo tersebut terjadi di ibu kota Malaysia, yaitu Kuala Lumpur. Pada waktu itu, ada satu kesempatan dimana para demonstran menyerbu suatu gedung, yaitu gedung KBRI. Para demonstran tersebut merusak foto Presiden Soekarno dengan cara merobeknya, dan para demonstran tersebut juga membawa lambang dari Negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila. Lambang Negara Indonesia tersebut, kemudian dibawa kehadapan Tunku Abdul Rahman, dan para demonstran tersebut memaksa ia untuk menginjak-injak lambang Negara Indonesia tersebut sebagai bentuk kekesalan terhadap Indonesia atau anti-Indonesia.
Tentu saja perlakuan tersebut mencoreng nama baik Negara Indonesia. Malaysia telah melecehkan Negara Indonesia. Setelah Presiden Soekarno mengetahui kejadian tersebut, ia sangat merasa kesal dan marah atas tindakan Malaysia tersebut. Ia sangat mengutuk keras tindakan semena-mena Malaysia tersebut. Dan akhirnya, pada saat itu, Presiden Soekarno menggelorakan “Ganyang Malaysia” hingga ke berbagai negeri. Kemudian terjadi peperangan antara Indonesia dan Malaysia. Konfrontasi tersebut menewaskan sekitar 2000 pasukan khusus Indonesia (Kopassus). Tetapi, akhirnya permasalahan tersebut diselesaikan melalui penandatanganan perjanjian damai yang dilakukan pada tahun 1966, tepatnya pada tanggal 11 Agustus. Selama bertahun-tahun, Negara tersebut sempat berdamai. Tetapi, semenjak tahun 2002, amarah mulai membara diantara kedua Negara tersebut, dikarenakan adanya kasus Pulau Sipadan-Ligitan yang akhirnya direbut oleh pihak Malaysia. Kemudian disusul dengan beberapa kasus lainnya seperti penyiksaan terhadap TKI, pengklaiman Negara Malaysia terhadap budaya, seni serta kekayaan intelektual Indonesia, hingga sampai kasus yang mirip seperti pada kasus Sipadan-Ligitan, yaitu perebutan pulau Ambalat. Jadi saat ini, hubungan Indonesia dan Malaysia mulai bersitegang kembali.
Melalui Mahkamah Internasional, Malaysia dapat memenangkan kasus sengketa Sipadan-Ligitan, tetapi hal tersebut tidak dapat menjadikan landasan untuk menguasai Ambalat. Pemerintah Malaysia melanggar Konvensi Hukum Laut PBB, atau yang disebut juga dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Konvensi ini merupakan konsep Negara kepulauan yang diperjuangkan, seperti di Indonesia. Negara pantai ataupun Negara kepulauan mempunyai jalur yang disebut dengan laut territorial. Jalur tersebut yaitu selebar 12 mil laut ditarik dari garis pangkal yang menghubungkan titik-titik terluar Negara pantai atau kepulauan. Menurut Konvensi Hukum Laut PBB 1982, ada dua jenis garis pangkal, yaitu garis pangkal biasa (normal base lines) dan garis pangkal lurus (straight base lines). Garis pangkal biasa adalah garis yang ditarik pada saat air surut terjauh dari pantai. Sedangkan garis pangkal lurus adalah garis yang ditarik dengan menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar.
Konflik mengenai Pulau Ambalat ini, bermula ketika kapal perang dari pihak Malaysia memasuki perairan Indonesia secara berkali-kali. Kapal perang tersebut memasuki blok laut seluas 15.235 kilometer persegi di Kalimantan Timur. Menurut catatan TNI, sedikitnya sembilan kali Malaysia menerobos wilayah Indonesia sejak tahun 2009, tepatnya pada bulan Januari. Malaysia mengklaim Ambalat sebagai milik negaranya, tetapi klaim tersebut dilakukan hanya secara sepihak. Malaysia mengklaim Ambalat sebagai wilayah kedaulatannya sesuai peta wilayah yang dibuat Malaysia pada tahun 1979. Peta tersebut didasarkan pada The Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone 1958 dan The Continental Self Convention 1958. Di dalam Peta Laut 1979 tersebut, Malaysia memasukkan wilayah Pulau Sipadan dan Ligitan ke dalam wilayahnya. Dan untuk wilayah Ambalat, disebut dengan wilayah ‘XYZ’, diberikan kepada perusahaan minyak yang terkenal, yang berasal dari Amerika yaitu Shell. Malaysia memberikan Pulau Ambalat pada Shell karena atas dasar perjanjian bagi hasil (production sharing contract) yang dilakukan pada 16 Februari 2005.
Sebenarnya, Pulau Ambalat sudah diakui secara sah sebagai wilayah dari Republik Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya UU No. 4 Tahun 1960 tentang Perairan RI. Dan ini juga telah sesuai dengan konsep hukum Negara kepulauan. PBB telah mengakui hal tersebut dengan adanya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea / UNCLOS), yang telah ditetapkan dalam Konferensi III PBB. Konferensi tersebut dilakukan pada 10 Desember 1982, di kota Montego Bay, Jamaika. Kemudian, Indonesia meratifikasi konvensi tersebut yang terdapat pada UU No. 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS. Beberapa ahli menyarankan bahwa masalah sengketa landas kontinen di Ambalat ini diselesaikan dengan cara ASEAN atau melalui semangat ASEAN. ASEAN menyediakan mekanisme untuk menyelesaikan sengketa anggotanya sebagaimana diatur dalam Perjanjian Amity dan Kerjasama dan Komunitas Keamanan ASEAN. Seharusnya, pelanggaran pada Blok Ambalat ini jangan disepelekan atau dibiarkan hingga berlarut-larut, karena masalah seperti ini bisa menganggu hubungan diplomatik bagi dua Negara yang bersangkutan tersebut, yaitu Indonesia dan Malaysia. Jika hal ini terjadi, maka hubungan antar kedua Negara tersebut akan semakin memburuk, mereka bisa saja akan selalu bermusuhan, sulit untuk melakukan sebuah perdamaian. Dan itu akan membuat suasana kedua Negara tersebut menjadi runyam. Seharusnya, hal yang demikian tidak terjadi, demi menciptakan suatu hubungan diplomatik yang damai bagi Indonesia dan Malaysia, dan disamping itu, mereka merupakan Negara tetangga, jadi memang seharusnya mereka dapat saling membantu, bukan menjatuhkan.
Indonesia dan Malaysia sebenarnya ingin menyelesaikan masalah ini dengan cara melakukan diplomasi secara bilateral. Tetapi, hingga saat ini, belum ada penyelesaian secara konkret mengenai konflik tersebut. Ini dikarenakan belum adanya tradisi melembaga untuk memecahkan kasus-kasus mengenai konflik batas kelautan secara regional di Asia Tenggara. Hal ini sangat disayangkan. Andai saja telah tercipta lembaga yang dapat menyelesaikan kasus seperti ini, maka konflik mengenai Blok Ambalat saat ini sudah selesai.
Hingga saat ini, hal yang dilakukan hanya melalui mekanisme bilateral yang kemudian diajukan pada Mahkamah Internasional. Hal ini terjadi pada kasus Sipadan-Ligitan. Telah disepakati bahwa DPR dan pemerintah Indonesia akan bersikap tegas mengenai permasalahan Blok Ambalat ini. Wakil Ketua Komisi I DPR Bidang Pertahanan Yusron Ihza Mahendra, mengatakan bahwa Pemerintah RI mendukung langkah-langkah Komisi I DPR RI untuk melakukan kontak di Malaysia. Ia mendukung langkah tersebut secara penuh.
Kontak tersebut dilakukan dengan sejumlah pejabat Negara tetangga itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusron Ihza Mahendra memimpin langsung rapat tersebut. Rapat tersebut juga dihadiri oleh Panglima TNI, Kapolri, Wakil Menlu, Menko Polhukam dan Menhan. Presiden Yudhoyono menekankan agar pemerintah dapat mengambil sikap yang tegas, karena menurutnya kedaulatan merupakan persoalan yang tidak dapat dikompromikan. Dalam rapat tersebut, Yusron juga mengatakan bahwa walaupun Presiden Yuhoyono menyarankan agar mengambil jalur diplomasi terhadap kasus Ambalat ini, tetapi bukan berarti Indonesia tidak akan bersikap lebih tegas. Indonesia juga telah menyampaikan protesnya terhadap sikap Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM), atas tindakan mereka di wilayah perairan Republik Indonesia. Mereka bertindak provokatif, Dan hal ini mengganggu Indonesia. Indonesia menyampaikan protes tersebut melalui Komisi I DPR RI. Selama sengketa perbatasan di Blok Ambalat, Indonesia dan Malaysia mengalami ketegangan diplomatik. Tetapi ketegangan tersebut berhasil reda setelah Presiden Yudhoyono dan Menteri Luar Negeri Hassan Wirayuda serta Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Seri Syed Hamid Albar mengadakan pertemuan di Bukit Tinggi pada 12-13 Januari 2006. Kedua pemerintah akhirnya menyetujui untuk melakukan perundingan terhadap penyelesaian masalah Ambalat ini supaya keadaan tetap damai. Sejauh ini, Indonesia dan Malaysia telah melaksanakan 13 diskusi serta negosiasi demi menyelesaikan sengketa Ambalat ini. Yaitu, sejak pertemuan di Bali pada 22-23 Maret 2005. Selama pertemuan, delegasi membahas beberapa masalah, yaitu tentang Penetapan Batas Maritim di Laut Sulawesi tentang Laut Teritorial, Zona Bersebelahan, Penetapan Batas Maritim di Selat Malaka, Selat Singapura, Laut Cina Selatan tentang Laut Teritorial, Zona Bersebelahan, dan Zona Ekonomi Eksklusif. Negosiasi-negosiasi tersebut, selain membahas masalah mengenai Ambalat, juga membahas masalah mengenai batas maritim bilateral yang sempat tertunda.
Presiden Yudhoyono mengatakan bahwa, solusi dari perkara ini haruslah benar-benar tepat, dengan menggunakan diplomasi yang gigih, dan dengan cara-cara yang tepat pula. Apa yang di klaim oleh Malaysia, tidak dapat di terima, karena Indonesia yakin bahwa itu adalah wilayah Indonesia. Walau hanya sejengkal wilayah ataupun sejengkal laut, harus tetap dipertahankan, karena tetap milik Indonesia. Tidak ada kompromi dan tidak ada toleransi. Itu merupakan sebuah harga mati bagi Indonesia. SBY juga mengatakan bahwa penyelesaian dari konflik ini tidak harus dengan cara perang. Baginya, perang merupakan cara terakhir yang dapat diambil. Ia menginginkan suatu solusi yang lebih bermartabat, yang tidak mendatangkan masalah bagi sebuah bangsa yang sedang membangun. Ia lebih memilih penyelesaian secara damai, yaitu dengan berdiplomasi. Presiden Yudhoyono juga menambahkan, bahwa APBN lebih diarahkan bagi kesejahteraan rakyat, bukan untuk urusan perang. Menteri Pertahanan Malaysia, Datuk Seri Zaid Hamidi, dalam menyelesaikan konflik Ambalat ini, ia ingin melakukan rundingan-rundingan agar tidak terjadi polemik dengan rakyat Indonesia dan juga dengan rakyat Malaysia. Ia mengharapkan agar kedua Negara yang saling bertetanggaan tersebut dapat tetap akrab atau saling berhubungan dengan baik. Baginya, solusi terhadap masalah Ambalat ini tidak hanya dengan cara diplomatik tetapi juga melalui pembicaraan yang tidak menyebabkan kedua Angkatan Laut tersebut bisa bergeseran di laut. Pihak Malaysia tidak ingin membesar-besarkan isu ini, walaupun sebenarnya isu ini memang terbilang besar. Ia berpandangan jika agresi dibalas dengan agresi, maka akan menjadikan api.


KESIMPULAN

Sebenarnya ada baiknya juga jika permasalahan Ambalat ini diselesaikan melalui cara berdiplomasi antara kedua Negara yang bertikai, yaitu Indonesia dan Malaysia. Karena melalui jalur diplomatik, hubungan antar kedua Negara tersebut bisa terjaga agar tetap damai. Tetapi diplomasi yang efektif seharusnya juga membutuhkan sebuah kekuatan militer. Jadi, bukan berarti kita memilih jalur diplomasi tetapi tanpa ada peran senjata. Dari awal, Malaysia memang sudah salah, karena ia hanya melakukan kesepakatan secara sepihak mengenai pulau Ambalat. Hal ini tentunya sangat merugikan pihak Indonesia.
Dalam melakukan diplomasi, perwakilan dari Negara-negara yang bersangkutan seharusnya ‘bersih’ dari tindakan-tindakan tercela seperti korupsi. Hal ini supaya para perwakilan dapat memberikan citra yang baik terhadap negaranya. Belakangan ini, beberapa petinggi perwakilan di Indonesia mengalami kasus korupsi, sehingga akhirnya dapat membawa citra yang kurang baik terhadap Indonesia di mata Malaysia dalam hal diplomasi. Bentuk hubungan diplomasi antara Indonesia dan Malaysia seharusnya segera diubah. Saat ini, hubungan diplomasi antara Indonesia dan Malaysia sepertinya lebih cenderung berorientasi pada pendekatan politik harmoni daripada politik bargain. Hal ini, nantinya akan mempersulit dalam menuntaskan masalah-masalah yang ada pada kedua Negara tersebut.
Dengan adanya kasus Sipadan-Ligitan, seharusnya Indonesia dapat belajar melalui kasus tersebut dalam menangani kasus Ambalat yang saat ini sedang terjadi, agar nantinya tidak terulang kembali kejadian seperti pada saat kasus Sipadan-Ligitan, yang mana pada saat itu kawasan tersebut akhirnya jatuh ketangan Malaysia. Indonesia seharusnya dapat lebih cermat dalam menangani kasus seperti ini. Parlemen dan pemerintah haruslah memiliki satu pemikiran sebelum menuju pada meja perundingan. Karena, jika mereka memiliki satu pemikiran, maka nantinya pola berdiplomasi dapat lebih terfokus pada kepentingan Indonesia terhadap kasus Blok Ambalat ini.
Demi menjaga wilayah Ambalat secara utuh dari Malaysia, Indonesia harus lebih memperhatikan keamanan perbatasan di wilayah perairan Ambalat dengan cara melakukan strategi yang lebih terencana agar lebih baik dari sebelumnya. Di wilayah tersebut harus sering diadakan patroli laut dan juga patroli udara demi mengamankan Ambalat dari serangan Malaysia. Walau bagaimanapun, Blok Ambalat tetaplah merupakan wilayah dari kedaulatan Indonesia, hal ini terbukti dengan adanya UU No. 4 Tahun 1960 tentang Perairan RI. Dan ini juga telah sesuai dengan konsep hukum Negara kepulauan. PBB telah mengakuinya dengan adanya Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Jika Indonesia kehilangan blok Ambalat, ini berarti sama saja Indonesia telah kehilangan sebagian wilayah kedaulatannya. Mempertahankan blok Ambalat merupakan hak bagi Indonesia demi memperjuangkan kedaulatannya. Artinya, Ambalat merupakan harga mati bagi Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA

• Jurnal Diplomasi Vol 1 No. 2, September 2009. Menatap Laut dengan Teropong Diplomasi: Joint Development Zone: An Alternative Solution in Solving the Ambalat Case Between Indonesia and Malaysia (Raudin Anwar). Pusat Pendidikan & Pelatihan Departemen LNRI.

• DR. I Made Pasek Diantha, SH. MS. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Bandung: Penerbitan Mandar Maju, 2002.

• Usman, Syafaruddin. Ancaman Negeri Jiran. Jakarta: Penerbitan Media Presindo, 2009.

• http://melampauipemilu.com, Mencermati Krisis Bilateral Indonesia-Malaysia, April 2010, pukul 23:50 WIB.

• http://polhukam.kompasiana.com, Mengurai Akar Konflik Warisan Indonesia-Malaysia, Mei 2010, pukul 12:45 WIB.

• http://gagasanhukum.wordpress.com, Ambalat: Pertaruhan Kedaulatan RI, Mei 2010, pukul 12:05 WIB.

• http://grandparagon.com, Kasus Ambalat: Indonesia Tegas, Malaysia Protes, Mei 2010, pukul 11:50 WIB.

• http://video.vivanews.com/read/5029, Ambalat Harga Mati Kedaulatan Indonesia, Mei 2010, pukul 12:15 WIB.

• http://video.vivanews.com/read/5042, Malaysia Jamin Tidak Perang di Ambalat, Mei 2010, pukul 12:32 WIB.

2 komentar:

  1. Interesting article. Namum fokus tentang konflik di Ambalat kurang dielaborasi secara lebih detaial tentang siapa dan bagaimana proses diplomasi dilakukan. Menarik latar belakang kondlik dari kasus konfrontasi terlalu jauh yang sebenarnya merupakan historical factor yang mengarah pada sentiment bukan pada esensi kasus yang dimaksud.
    Perhatian teknik referensi karena saya tifdak menemukan penggunaan footnote atau endnotes.

    BalasHapus