Rabu, 02 Juni 2010

Resolusi Konflik: Pulau Sipadan dan Ligitan

Oleh: Raden Siti Nadea Aqmarina (209000184)

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Sengketa pulau antara kedua Negara ini sudah terjadi sejak tahun 1967. Pada pertemuan yang membahas tentang teknis hukum laut serta landas kontinen antara kedua negara, Indonesia maupun Malaysia sama-sama memasukkan pulau Sipadan dan Ligitan ke dalam territorial batas Negara mereka. Karena hal ini, Indonesia merasa berkewajiban untuk mempertahankan kedaulatannya akan pulau Sipadan dan Ligitan. Maka pemerintah mencari dasar hukum serta fakta-fakta historis yang dapat mendukung kepemilikan kedua pulau tersebut. Sementara itu pemerintah Malaysia melakukan hal yang sama yaitu mencari bukti-bukti historis yang mendukung haknya atas pulau Sipadan dan Ligitan. Lalu kedua Negara ini bersepakat untuk menjadikan status pulau Sipadan dan Ligitan menjadi status quo. Dalam kondisi status quo ini Malaysia menjadikan P.Sipadan sebagai daerah wisata dengan paket wisata Kinabalu, bahkan Malaysia membuat pulau buatan di Karang Rough di utara lintang 40 10` Utara berdekatan dengan P.Sipadan. Namun pada Tahun 1969, Malaysia memasukkan pulau Sipadan dan Ligitan kedalam peta resmi nasionalnya.

Kemudian pada tahun 1991, Malaysia menempatkan polisi hutan di pilau sipadan dan Ligitan untuk melakukan pengusiran terhadap warga Negara Indonesia yang berada di kedua pulau tersebut. Selain itu pihak Malaysia juga meminta pemerintah Indonesia untuk mencabut klaimnya atas kedua pulau tersebut.

Pihak Indonesia yang semula amat kukuh untuk membawa kasus ini ke ASEAN dan selalu menolak usulan Malaysia yang ingin membawa kasus ini ke ICJ akhirnya melunak. Presiden Suharto dalam kunjungan kenegaraannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996 akhirnya menyetujui usul dari Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad. Maka dibuatlah kesepakatan “Final and Binding” pada tanggal 31 Mei 1997 dengan kedua Negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada 19 November 1997 dengan Kepres Nomor 49 Tahun 1997, sedangkan Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.

1.2 Rumusan Masalah

Langkah-langkah apa sajakah yang ditempuh kedua Negara dalam menyelesaikan sengketa pulau Sipadan dan Ligitan ini? Mengapa kedua Negara begitu yakin atas kepimilikan pulau Sipadan dan Ligitan ini? Dengan sedemikian bukti berupa dasar hukum serta fakta historis yang diajukan pihak Indonesia dalam penyelesaian konflik ini, mengapa pada akhirnya Indonesia tidak mampu mempertahankan pulau Sipadan serta Ligitan? Dimanakah sesungguhnya letak kesalahan Indonesia sehingga tidak dapat menjaga kedaulatan wilayahnya?

BAB II

PEMBAHASAN

Sipadan dan Liditan merupakan dua pulau kecil yang berada di Selat Makassar. Pulau Sipadan memiliki luas 10,4 ha dan terletak 15 mil dari Sabah serta 40 mil dari daratan Pulau Sebatik, sedangkan Pulau Ligitan hanya 7,9 ha dengan jarak 21 mil dari Sabah dan 57,6 mil dari Sebatik. Dalam Deklarasi juanda pada tanggal 13 Desember 1957 tentang Wawasan Nusantara mengenai Indonesia sebagai Negara kepulauan, terdapat perihal bahwa perairan territorial Indonesia sebelumnya hanya sejauh 3 mi dari tiap-tiap pulau di kepulauan Indonesia. Konvensi hukum laut I Jenewa tahun 1958 tentang laut Teritorial memungkinkan suatu Negara untuk menarik garis pangkal dengan straight base line dan normal base line. Dan melalui Undang-undang No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia yang disebut sebagai Negara kepulauan, dilakukan penarikaan untuk mengukur laut territorial sejauh 12 mil dari titik terluar dari pulau pulau terluar. Titik dasar yang didapat dari hasil perhitungan diatas peta adalah sebanyak 200 titik dengan metode point to point theory. Namun ada satu hal mendasar yang terlupakan dalam UU no.4/-rp/1960 adalah bahwa pulau Sipadan serta Ligitan tidak dimasukkan dalam wilayah Negara kepulauan Indonesia.

Seiring dengan berjalannya waktu, sengketa pulau Sipadan dan Ligitan ini memasuki babak awal yaitu pada tanggal 22 September 1969 di Kuala Lumpur saat kedua Negara melakukan perundingan tentang teknis huku laut dan penerapan landas kontinen di perairan Selat Malaka dan laut Sulawesi. Pada pertemuan itu, kedua Negara baik Indonesia maupun Malaysia sama-sama mengklaim pulau Sipadan dan Ligitan sebagai miliknya. Akhirnya dalam perundingan itu disepakati bahwa kedua pihak menahan diri dan tidak akan melakukan kegiatan apapun pada kedua pulau tersebut sampai ada penyelesaian masalah. Kesepakatan kedua Negara ini ditafsirkan oleh pihak Indonesia sebagai penetapan status quo atas pulau Sipadan dan Ligitan. Akan tetapi di pihak Malaysia, sejak tahun 1980an telah melakukan berbagai macam pembangunan infrastruktur pariwisata bahari di kedua pulau tersebut meskipun statusnya masih dalam sengketa. Indonesia berkali kali mengajukan protes kepada Malaysia, namun pengembangan pariwisata di kedua pulau yang dikelola oleh Malysia berjalan lancar. Konferensi PBB tentang hukum laut III pada 30 April 1982 di New York telah berhasil menyusun United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS ‘82) yang kemudian ditandatangani 117 negara termasuk Indonesia pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica. Melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 tanggal 31 Desember 1985, Indonesia meratifikasi UNCLOS ‘82 yang berarti bahwa seluruh perangkat hukum Indonesia yang sudah ada atau akan ada harus mengacu kepada konvensi tersebut.

Dengan telah berlakunya UNCLOS ‘82 secara resmi diseluruh dunia sejak 16 Nopember 1994, maka Indonesia secara yuridis formal telah diakui sebagai negara kepulauan, termasuk hak-hak dan kewajiban yang melekat pada wilayah negara kepulauan. Salah satu kewajiban Indonesia adalah penyesuaian cara penarikan garis pangkal sesuai dengan ketentuan dalam LJNCLOS ‘82, yang selanjutnya menjadi dasar untuk penetapan perbatasan wilayah laut, meliputi lebar Laut Teritorial 12 mil (pasal 3 LTNCLOS ‘82), Lajur Tambahan (Contigous Zone) 24 mil (pasal 33), Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil (pasal 48 dan 57) serta Landas Kontinen selebar 200 mil (pasal 76). Khusus untuk landas kontinen dimana kondisi dasar lautnya sedemikian rupa sehingga batas terluamya berada di continental margin yang terletak di luar 200 mil ditetapkan maksimum selebar 350 mil dari garis pangkal atau 100 mil dari kedalaman laut 2500 meter. Tahun 1989 – 1995 Dishidros TNI-AL telah melaksanakan survei lapangan guna penyesuaian titik dasar yang terdapat dalam Undang-Undang 4/Prp/1960 (200 titik), dimana telah didapatkan 232 titik dasar. Hasil penyesuaian penarikan garis pangkal berdasarkan UNCLOS ‘82, maka didapat 189 titik dasar.

Hasil survei inilah (189 titik dasar) yang digunakan sebagai lampiran dari Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia berupa Peta Iktisar wilayah yuridiksi Negara Kepulauan Indonesia yang menggantikan Undang-Undang Nomor 4/Prpl1960, namun tanpa mencantumkan daftar koordinat titik-titik dasar.

Penetapan UU (Undang-Undang) Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia ini antara lain dimaksud untuk memasukkan (secara hukum) pulau Sipadan dan Ligitan yang tidak tercantum dalam UU No. 4/Prpl1960, namun masih sangat lemah karena batas wilayah negara Republik Indonesia hanya berupa Peta Iktisar, tanpa daftar koordinat titik-titik dasar.

Batas wilayah yang ditetapkan Inggris (British North Borneo Company) bersama Belanda di pulau Sebatik sepanjang garis paralel 4 derajat, 10 menit LU, tidak tegas menunjukkan apakah garis batas paralel tersebut ditarik ke laut sampai jauh kearah Timur / pulau Sipadan dan Ligitan.

· Usaha Damai

Pada tahun 1992, Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi tersebut menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC & Joint Working Groups/ JWG). Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG.Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kuala lumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.

Pada pertemuan tgl. 6-7 Oktober 1996 di Kualalumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tanggal 31 Mei 1997 disepakati “Spesial Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan”. Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah Internationaln (International Court of Justice) pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan di ICJ mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya berada di tangan RI.

Namun demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui Written pleading kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, Counter Memorial pada 2 Agustus 2000 dan reply pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses Oral hearing dari kedua negara bersengketa pada 3 sampai dengan 12 Juni 2002 . Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas Indonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International. Indonesia mengangkat co agent RI di ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum di ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi dan dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih Rp. 16.000.000.000 dana telah dikeluarkan yang sebagian besar untuk membayar pengacara. Dengan demikian tidak tepat bila dikatakan pihak Indonesia tidak serius memperjuangkan P. Sipadan dan P. Ligitan.

· BUKTI-BUKTI

Karena kedua Negara telah sepaka untuk membawa kasus ini ke ICJ, maka kedua belah pihak harus menyiapkan bukti-bukti berupa fakta fakta historis yang mendukung kepemilikan atas pulau Sipadan dan Ligitan. Indonesia bersumber pada konvensi antara Belanda dengan Inggris pada tahun 1981 mengenai kesepakatan daerah di selatan garis parallel 4’ 10 menit Lintang Utara milik Belanda dimana pulau Sipadan dan Ligitan berada di sebelah selatan garis itu. Kesepakatan Tersebut dikukuhkan dalam sebuah peta yang dibuat Belanda dan diakui oleh Inggris. Peta-peta yang dibuat oleh kartografi Stanford milik Inggris dan peta yang dibuat Badan Pemetaan Nasional Malaysia hingga 1970an tidak mencantumkan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai milik Malaysia. Belanda juga telah melakukan kedaulatan dengan melakukan survey serta patrol di kedua pulau itu pada 1903 serta mendaratkan kapal Lynx di Sipadan pada 1921. Izin penambangan minyak yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia dan Malaysia mengacu pada Konvensi 1891.

Demikian halnya Malaysia juga memiliki bukti-bukti untuk dibacakan di muka siding. Menurut Malaysia, kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan secara estafet dari Sultan Dent/Overback - Inggris - Malaysia serta Sultan Sulu - Spanyol – AS - Inggris – Malaysia ( Chain of Title ). Doktrin penguasaan efektif secara berkesinambungan (effective occupation) atas kedua pulau tersebut. Malaysia lebih banyak memiliki bukti tindakan administratif di kedua pulau itu. Antara lain penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung oleh Inggris pada 1917, penarikan pajak bagi pengumpul telur penyu sejak tahun 1930 dan pengoperasian mercusuar sejak tahun 1960-an serta melaksanakan aktivitas kepariwisataan sejak 1980. Fakta bahwa, kapal perang AS pada 1903 mengunjungi Pulau Sipadan dan mengklaim menjadi miliknya. Tidak ada bukti tertulis bahwa kedua pulau itu pernah berada di bawah administrasi Belanda yang diperoleh dari Kesultanan Bulungan. Garis batas 40 10 menit Lintang Utara bukanlah allocation line, karena Ingris tidak pemah mengindikasikan keinginannya untuk menentukan batas laut territorial di Bomeo Utara.

· PUTUSAN AKHIR

Mahkamah Internasional (International Court of Justice) telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan-Ligitan. Pada sidang yang dilaksanakan di Den Haag tersebut, ICJ telah mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari ICJ, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, berdasarkan pertimbangan effectivitee, yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan. Di pihak yang lain, ICJ juga menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891, yang dinilai hanya mengatur perbatasan kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 14 derajat Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau Sebatik, sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil. Keputusan mahkamah ini bersifat final dan mengikat. Dalam urusan ini, pemerintah Indonesia juga percaya seluruh proses peradilan telah berlangsung secara adil dan transparan. Tentang tindak lanjut pasca keputusan ICJ, langkah pertama yang diambil adalah merumuskan batas-batas negara dengan negara-negara terdekat.


BAB III

PENUTUP

Bila kita melihat kebelakang tentang upaya-upaya Indonesia yang telah dilakukan sejak tahun 1960-an untuk menyelesaikan sengketa pulau Sipadan Ligitan, maka sebenarnya upaya-upaya tersebut eukup intensif, namun masih terdapat berbagai kekurangan-kekurangan. Sejak negara kesatuan Republik Indonesia terbentuk pada 1945, tidak pemah melakukan aktivitas ekonomi di kedua pulau Sipadan dan Ligitan, jadi Indonesia tidak ada upaya dalam pengelolaan sumberdaya yang terdapat pada kedua pulau Sipadan dan Ligitan. Sebaliknya Malaysia sejah tahun 1980-an telah menjadikan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai pulau wisata bahari. Sistem pengarsipan Indonesia terhadap dokumen-dokumen sejarah, khususnya menyangkut dokumen wilayah perbatasan yang ada sejak tahun 1900-an sangat lemah, sehingga saat dokumen-dokumen dibutuhkan kita harus ke negara tertentu misalnya Belanda dan Inggris untuk menelusurinya. Hal ini membutuhkan waktu dan biaya yang besar dan belum tentu negara bersangkutan “mau memberikan secara ikhlas” data dan peta-peta dimaksud. Esensi keputusan ini bukanlah seperti yang dinyatakan sementara kalangan yakni bahwa negara harus memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan keberadaan orang di suatu pulau terpencil untuk menunjukkan okupasi efektif, tetapi yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya. Keputusan ini juga tidak memberikan makna hukum terhadap pembangunan resort yang dilakukan oleh Malaysia setelah 1969 dan juga kegiatan perikanan nelayan Indonesia yang tidak didasarkan atas peraturan perundang-undangan. Jelas elemen kuncinya dalam aplikasi doktrin effective occupation adalah ada tidaknya suatu perundang-undangan, peraturan hukum, atau regulasi terkait status wilayah tersebut. Hal ini tentunya sejalan dengan makna dari occupatio (baca okupatio) yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti pendudukan secara fisik.

DAFTAR PUSTAKA

http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=10&mnorutisi=6

http://www.dephan.go.id

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/10/06/WAW/mbm.20081006.WAW128382.id.html

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0212/19/ln/53884.htm

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0004/25/ln/sipa03.htm


1 komentar:

  1. Makalah Anda mengandung unsur plagiatarism dari artikel berikut.
    Tidak akan saya nilai.

    http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/30/tanggapan-dan-masukan-atas-keputusan-icj-tentang-pulau-sipadan-dan-ligitan-menjadi-milik-malaysia-tanggal-17-desember-2002/

    http://www.scribd.com/doc/14159403/pendahuluan-2

    BalasHapus