Selasa, 01 Juni 2010

SOFT DIPLOMACY : SEBUAH UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK KEPEMILIKAN KEPULAUAN SPRATLY DI LAUT CINA SELATAN

SOFT DIPLOMACY : SEBUAH UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK
KEPEMILIKAN KEPULAUAN SPRATLY DI LAUT CINA SELATAN


TUGAS MATA KULIAH PENGANTAR DIPLOMASI
DOSEN: Shiskha Prabawaningtyas


Oleh
Sagita Athina Putri
208000289


Karya Ilmiah ini adalah karya pribadi
yang disusun sesuai dengan etika penulisan ilmiah.
Penulis bertanggungjawab atas seluruh isinya.
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN
UNIVERSITAS PARAMADINA
2010




KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan atas semua rahmat penyertaan dan KaruniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan tepat waktunya. Karya tulis ilmiah ini disusun sebagai wujud pertanggungjawaban penulis untuk melengkapi tugas yang diberikan. Penyusunan karya tulis ini terwujud atas bimbingan, bantuan, dan dorongan baik moril maupun materil serta doa dari berbagai pihak.
Kami menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun Penulis berharap adanya saran dan kritik yang bersifat membangun demi kebaikan karya tulis ilmiah ini. Harapan penulis agar mereka selalu mendapatkan kesuksesan dalam hidupnya dan dapat meraih apa yang dicita –citakan selama ini.




Jakarta, April 2010

Penulis




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Perang dingin yang sudah berakhir membawa perubahan yang sangat cepat dan signifikan di dalam dunia global maupun sistem internasional. Berkembangnya isu-isu konflik yang muncul dalam dunia global membuat harapan dan tantangan yang baru bagi semua negara, khususnya dalam bidang keamanan. Perkembangan-perkembangan tersebut sedikit banyak berdampak pada tatanan kehidupan di kawasan internasional pada umumnya dan kawasan regional pada khususnya. Misalnya saja perkembangan di Asia Tenggara menimbulkan perspektif baru dalam bidang keamanan di negara-negara anggota ASEAN. Seperti halnya negara-negara berkembang, isu keamanan di negara-negara ASEAN pun menjadi suatu titik fokus baru. Konflik-konflik yang menyangkut masalah perbatasan dapat dibilang menjadikan pandangan baru bahwa harga sebuah wilayah sangat mahal dan pantas untuk diperebutkan dan diperjuangkan. Hal tersebut dikarenakan adanya anggapan bahwa Asia Tenggara merupakan daerah yang strategis.

Sengketa territorial di dalam kawasan regional ASEAN bukanlah suatu hal yang mencengangkan. Salah satunya adalah sengketa di Laut Cina Selatan yaitu kepemilikan Pulau Paracel dan Pulau Spratly. Sengketa mengenai kepemilikan kedua pulau ini merupakan suatu sengketa yang mempunyai jalan penyelesaian yang panjang dan cukup melibatkan banyak negara. Dalam permasalahan ini pun bukan hanya terbatas pada masalah kedaulatan atas Pulau Paracel dan Spratly tetapi juga mengenai landas kontinen, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) serta penggunaan teknologi dan eksplorasi dari pulau tersebut. Dapat dikatakan pula bahwa sebenarnya persengketaan ini adalah sebuah permasalahan ideologi, nasionalisme yang menyatu dengan kepentingan nasional suatu negara dalam bidang ekonomi.

Sengketa teritorial dan penguasaan kepulauan di Laut Cina Selatan berawal dari tuntutan Cina atas seluruh pulau-pulau di kawasan laut Cina Selatan yang berdasar pada bukti-bukti sejarah, penemuan situs, dokumen-dokumen kuno, peta-peta, dan penggunaan gugus-gugus pulau oleh nelayannya. Menurut Cina, sejak 2000 tahun yang lalu, Laut Cina Selatan telah menjadi jalur pelayaran bagi mereka.

Beijing menegaskan bahwa bukti-bukti arkeologis Cina pada 220 Sebelum Masehi menunjukkan bahwa semua pulau di Laut Cina Selatan adalah milik Cina. Namun Vietnam
menyebutkan bahwa Pulau Paracel dan Pulau Spratly merupakan bagian dari wilayah kedaulatannya yang sudah dieksplorasi sejak abad ke-17. Dengan seiring berjalannya waktu, Vietnam yang bersikeras menyebut bahwa kedua pulau tersebut adalah miliknya dan tetap menduduki wilayah tersebut pada saat berakhirnya Perang Dunia ke II.

Dapat dikatakan bahwa Pulau Paracel dan Spratly merupakan wilayah yang bersengketa dengan banyak negara sejak tahun 1971, namun penyelesaian masalah ini bermula dari latar belakang faktor sejarah akibat dari tindakan kolonialisme pasca perang dunia ke II.

Filipina pernah menduduki gugusan pulau di Spratly pada sekitar tahun 1970an. Alasannya adalah karena kawasan tersebut merupakan daerah yang tidak dimiliki oleh negara manapun. Pernyataan Filipina tersebut berdasarkan pada rujukan Perjanjian Perdamaian San Francisco 1951 yang berisi tentang pelepasan hak Jepang atas Pulau Spratly.

Malaysia juga sempat menduduki beberapa gugus Pulau Spratly. Kedua pulau tersebut diklaim oleh Malaysia dengan mengacu pada peta batas landas kontinen Malaysia yang menggambarkan bahwa sebagian dari gugusan Pulau Spratly adalah merupakan bagian dari negaranya.

Di sisi lain, Brunei Darussalam yang baru merdeka dari jajahan Inggris pada 1 Januari 1984 pun turut serta dalam permasalahan Laut Cina Selatan ini. Namun, Brunei tidak mengklaim gugusan pulau dari Kepulauan Laut Cina Selatan itu, melainkan mengklain perairan yang berada di sekitar kepulauan tersebut.

Pada tahun 1988 pun Cina baru membangun konstruksi dan instalasi militer secara besar-besaran dan dengan waktu yang singkat. Selain membangun saran militer tersebut, Cina juga menempatkan pasukan militernya untuk berlatih sekaligus menjaga kepulauan tersebut. Pada tahun yang sama, Cina melakukan negosiasi jalan damai dengan Filipina dan Malaysia untuk menyelesaikan masalah mengenai kepemilikan Pulau Spratly.

Sikap dan tindakan Cina dinilai sebagai tindakan frontal yang bertujuan untuk merundingkan permasalahan tersebut dengan cara damai. Hal ini semakin terlihat jelas dengan pengeluaran Undang-Undang tentang Laut Teritorial dan Contiguous Zone pada tanggal 25 Febuari 1992 secara de jure oleh Cina dan telah diloloskan Parlemen Cina yang memasukkan Kepulauan Spratly sebagai wilayahnya. Dan secara de facto, Cina telah menempatkan pasukan militernya untuk menjaga kepulauan tersebut untuk memperkuat pencapaian keinginannya. Demikianlah, persengketaan teritorial ini menciptakan potensi konflik yang luar biasa besar di sepanjang kawasan Asia Pasifik.

Dengan kondisi seperti ini, masalah penyelesaian sengketa teritorial di Laut Cina Selatan menjadi semakin rumit dan membutuhkan mekanisme pengelolaan yang lebih berhati-hati agar tidak menimbulkan ekses-ekses instabilitas di kawasan Asia Tenggara.

Tidak mudah untuk menentukan letak geografis dari Kepulauan Laut Cina Selatan karena kepulauan ini berada di perbatasan perairan 4 negara yaitu Filipina, Vietnam, Indonesia dan Malaysia. Kepulauan ini terletak kurang lebih 1.100 Km dari pelabuhan Yu Lin di Cina dan 500 Km dari pantai Kalimantan bagian Utara. Sedangkan Kepulauan Paracel terletak di 300 Km di tenggara Cina. Berdasarkan bukti bukti sejarah Cina, Kep. Paracel yang terletak 300 Km sebelah tengggara pantai Cina telah dikuasai oleh Pemerintahan Dinasti Han antara 206 sebelum Masehi. Cina terus melakukan usaha-usaha untuk mendapatkan kedaulatan dan kepemilikan atas kedua kepulauan tersebut dengan memperlihatkan bukti-bukti arkeologi dan sejarah dari Dinasti Cina.

Namun yang paling diperebutkan oleh negara-negara yang terlibat adalah Kepulauan Spratly, karena kepulauan ini merupakan daerah strategis yang merupakan jalur perdagangan internasional serta memiliki kekayaan sumber daya alam berupa minyak, gas dan tambang lainnya. Ini berarti mendapatkan kepulauan tersebut sudah dapat diperkirakan akan mengurangi ketergantungan minyak dari negara-negara Kawasan Teluk. Perkiraan cadangan minyak di Kepulauan Spratly yaitu 10 milyar ton.

1.2 Research Question

• Tindakan apa sajakan yang dilakukan oleh negara-negara bersengketa untuk mendapatkan hak kepemilikan dan kedaulatan dalan kedua kepulauan tersebut?

• Langkah penyelesaian konflik apa yang dilakukan oleh negara-negara bersengketa?

• Bagaimana peran ASEAN selaku organisasi regional kawasan Asia Tenggara dalam penyelesaian konflik Laut Cina Selatan ini?

1.3 Kerangka Pemikiran
Masalah sengketa antar negara di kawasan, sangat terkait dengan aspek “national interest” masing-masing negara dalam mewujudjan keinginan mempertahankan wilayah pengaruh/hegemoni serta jaminan akan keselamatan pelayaran sebagai akibat yang disebabkan posisi strategis dan vital di kawasan laut Cina Selatan.

Klaim masalah teritorial tumpang tindih atas laut Cina Selatan sesungguhnya bukanlah masalah baru. secara tradisional, Cina termasuk Taiwan dan Vietnam telah menegaskan pemilikan mereka atas keseluruhan gugusan kepulauan Spratly dan sumber daya yang ada di kawasan itu. Pada perkembangan selanjutnya Filipina dan Malaysia juga mengklaim sebagian pulau di kawasan Spratly, sedangkan Brunei Darussalam mengklaim Louise Reef, gugusan karang yang terletak di luar gugus Spratly.

Dalam masalah klaim multilateral, seringkali masalah klaim RRC, Taiwan dan Vietnam dibahas menjadi satu karena erat kaitannya antara satu dengan lainnya, akibat perkembangan sejarah, misalnya antara RRC dan Taiwan, Vietnam Selatan, Vietnam Utara dan Vietnam setelah unifikasi.Cina sebenarnya merupakan satu-satunya negara sampai Perang Dunia I yang mengklaim kedaulatan sepenuhnya atas seluruh Kepulauan Spratly, dengan mendasarkan klaimnya atas penemuan pertama. Masalah kedaulatan menjadi masalah yang sensitif anatara Prancis, Inggris dan Jepang pada akhir abad 19.
Padahal pada tahun 1876 Cina telah menyatakan bahwa kepulauan Spratly merupakan miliknya. Saling Klaim juga dilakukan beberapa negara lainnya, antara lain; Taiwan mengklaim dan menduduki kembali (1956) kelompok kepulauan ini dengan menempatkan satu garnisun berkekuatan 600 tentara secara permanen di pulau terbesar serta membangun landasan pesawat dan instalasi militer lainnya; Vietnam Selatan kembali menegaskan haknya atas kepulauan Spratly dan Paracel (1951) dalam konfrensi Sanfrancisco.

Bahkan setelah unifikasi, Vietnam menegaskan kembali tuntutannya atas kedua kepulauan tersebut pada berbagai kesempatan, dan vietnam secara teratur mengadakan patroli di sekitar kepulauan Paracel. Berbeda dengan ketiga negara sebelumnya, Filipina tidak mengklaim seluruh kepulauan Spratly dan tidak juga didasarkan atas alasan sejarah.

Filipina pertama menyatakan klaimnya apada tahun 1946 di Majelis Umum PBB dan diulang lagi (1950) ketika Taiwan menarik pasukannya. Meskipun Filipina lebih belakangan menyatakan klaimnya atas gugusan Spratly, namun negara ini telah awal melakukan pendudukan militer, membuat landasan terbang dan menempatkan militer di kepulauan itu. Enam pulau yang diduduki Filipina merupakan pulau-pulau terbesar di kepulauan itu. Sementara itu Malaysia baru kembali mengklaim (1979) atas 11 pulau karang di bagian Tenggara Kepulauan Spratly berdasarka pemetaan yang dilakukannya. Dan pada tahun 1983 melakukan survey dan menyatakan kepulauan tersebut berada di perairan Malaysia.

Dan Brunei Darussalam adalah yang terakhir menyatakan klaimnya atas sebagian kawasan Spratly. Klaim Brunei hampir serupa dangan Malaysia karena didasarkan pada doktrin Landas Kontinental, akan tetapi garis-garis batas ditarik secara tegak lurus dari dua titik ekstrem di garis pantai Brunei darussalam.

Pada konflik ini, telah banyak usaha penyelesaian konflik yang dilakukan oleh negara-negara sengketa. Mulai dari diplomasi bilateral, multilateral, sampai hard diplomacy dengan melibatkan kekuatan militer. Namun, sedikit banyak penyelesaian sengketa ini tidak berjalan dengan lancar dan tidak dapat menyelesaikan sengketa yang ada. Pada akhirnya pada tahun 1990, Indonesia mengadakan dialog multilateral dalam upaya penyelesaian dan minimalisasi konflik di Laut Cina Selatan. Upaya dialog multilateral ini dinilai sangat membantu meminimalisir konflik tersebut. Dan hingga saat ini, dialog multilateral yang dibentuk oleh Indonesia dijadikan sebagai pertemuan rutin setiap tahunnya.




BAB II
PEMBAHASAN

Penetapan batas-batas antar negara merupakan suatu hal yang bersifat konfliktual karena menyangkut masalah kedaulatan suatu negara. Maka, tidak heran dengan banyaknya masalah-masalah yang timbul karena batas teritorial di dunia internasional sampai saat ini. Perbedaan pandangan dalam menentukan batas-batas negara dan sulitnya penentuan batas teritorial di laut menjadi hal yang tidak dapat dihindari. Begitu pun yang terjadi di Kawasan Asia Tenggara, khususnya yang terjadi di Kepulauan Laut Cina Selatan.

Awal mula dari sengketa di Laut Cina Selatan ini adalah pada saat Cina mengumumkan peta wilayah kedaulatannya termasuk kepulauan-kepulauan beserta gugusannya yang secara de jure belum jelas kepemilikannya. Sengketa ini semakin memanas dengan adanya cadangan minyak dan hidrokarbon di wilayah ini serta berkembangnya hukum internasional mengenai laut (United Nations on the Law of the Sea (UNCLOS)) pada tahun 1982.

Sejak adanya hukum laut internasional pada tahun 1970an dan UNCLOS pada tahun 1982, maka semua yang menyangkut laut dan batas-batas negara yang berada di laut diatur dalam hukum tersebut. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan bahwa batas laut territorial adalah 12 mil dari garis pantai paling luar untuk menjaga kedaulatan dan keamanan, landas kontinen untuk eksplorasi sumber daya mineral, dan ZEE untuk eksplorasi serta eksploitasi sumber daya hayati. Dengan adanya aturan dalam hukum laut internasional tersebut, negara-negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan menjadi terpacu dan menyadari betapa pentingnya kawasan tersebut dalam bidang pelayaran, sumber daya alam, sumber daya mineral dan segala apapun yang terkandung di dalamnya.

Ada 6 negara yang mengkaim gugus-gugus Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly yaitu Vietnam, Filipina, Cina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei Darussalam. Persaingan semakin ketat dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh negara-negara tersebut dengan menduduki dan mengeksplorasi kepulauan tersebut atau dengan mengusir kapal nelayan maupun konflik terbuka di wilayah perairan tersebut.

Perbedaan prinsip dan segala sesuatu yang dapat menimbulkan konflik diatur dalam UNCLOS 1982 dengan mengharuskan pihak-pihak yang bersengketa berunding antar negara untuk mencapai kesepakatan dan keadilan tanpa adanya konflik. Namun, hal tersebut menjadikan negara-negara yang bersengketa untuk mengedepankan national interest masing-masing negara.

Terdapat 3 kemungkinan yang mungkin terjadi dalam penyelesaian klaim antara banyak negara di Laut Cina Selatan. Yang pertama adalah penyelesaian bilateral seperti halnya yang dilakukan oleh Cina dan Vietnam. Kedua, penyelesaian multilateral dimana semua negara-negara yang terlibat duduk bersama membicarakan penyelesaian maslah yang ada baik dalam lingkup internasional ataupun dalam forum regional, yang dalam hal ini adalah ASEAN. Dan yang ketiga, yaitu penyelesaian yang paling frontal yaitu dengan konflik bersenjata dimana meriam-meriam akan berbicara.

1. Diplomasi Bilateral
Berbagai anggapan dan tanggapan yang menyebutkan bahwa diplomasi multilateral akan lebih mudah untuk dijalankan adalah suatu pilihan yang dipilih oleh Cina. Pada tahun 1991, Cina melakukan perundingan bilateral dengan Taiwan mengenai eksplorasi minyak bersama yang berlangsung di Singapura. 1 tahun berikutnya, Cina mengadakan pertemuan bilateral dengan Vietnam dan menghasilkan kesepakatan pembentukan kelompok khusus dalam menangani sengketa perbatasan teritorial.
Pada bulan Juni 1993, Malaysia dan Filipina pun melakukan hal yang sama dengan menandatangani perjanjian kerjasama eksplorasi minyak dan gas bumi selama 40 tahun di wilayah yang disengketakan oleh enam negara tersebut.
Cina dan Filipina juga melakukan pertemuan untuk bersama-sama mengeksplorasi dan mengembangkan wilayah Spratly.
Namun, pada akhirnya diplomasi bilateral pun tidak dapat menyelesaikan masalah. Proses perjanjian-perjanjian dan kesepakatan yang dibentuk sama sekali tidak membahas wilayah kedaulatan yang sebenarnya adalah inti dari konflik tersebut.

2. Dialog Multilateral
Berbeda halnya dengan Indonesia yang mengedepankan pentingnya stabilitas kawasan regional. Langkah penting yang dilakukan oleh Indonesia adalah dengan melakukan usaha-usaha pencegahan terjadinya konflik bersenjata. Penanganan sengketa yang dilakukan dengan jalur pendekatan preventif, menawarkan berbagai kerjasama dan bermitra untuk mencapai jalan penyelesaian masalah yang terbaik.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya Indonesia pun memiliki kepentingan atas wilayah ini yaitu menjamin terciptanya kelancaran pelayaran dan kebebasan navigasi, keamanan dan keutuhan nasional, pemberantasan pelanggaran hukum di laut dan perlindungan terhadap lingkungan. Laut Cina Selatan merupakan jalur perdagangan regional -pelayaran kapal-kapal niaga, tanker-tanker minyak- yang menghubungkan Asia Timur ke Indonesia dan sebaliknya. Perairan ini merupakan jalur pelayaran perdagangan antar negara ASEAN. Dan dalam lingkup internasional, perairan ini menghubungkan Asia Timur dengan Eropa, Afrika dan Timur Tengah melalui Selat Malaka. Sebagai negara kepulauan terbesar di wilayah ini, Indonesia berkepentingan atas stabilitas keamanan di kawasan ini.

Kepentingan Indonesia juga terletak pada penarikan garis perbatasan di sekitar Laut Natuna yang juga masuk dalam wilayah Laut Cina Selatan. Bila Cina masih bersikeras mengimplementasikan garis datarnya seperti yang tercantum pada peta tahun 1947, klaim ini mengintrusi wilayah ZEE dan landas kontinen Indonesia. Selain itu, Indonesia berkepentingan memberantas pelanggaran hukum yang terjadi.

Serangkaian kepentingan Indonesia membentuk pengelolaan sengketa di kawasan tersebut dengan melakukan pendekatan preventif. Indonesia tidak mementingkan kepentingan-kepentingan yang telah disebutkan di atas, namun Indonesia menjadikan keadaan ini menjadi suatu peluang terbentuknya kerjasama yang luar biasa.

Melalui serangkaian workshop bertajuk “Managing Potential Conflicts in the South China Sea” sejak tahun 1990, Indonesia berhasil menggalang aliansi kerjasama negara-negara yang mengklaim sekaligus menghentikan klaimnya. Dengan peran terdepan melakukan diplomasi preventif dalam kerangka 2nd track diplomacy, Indonesia berhasil mendudukkan pihak pemerintah negara-negara yang mengklaim dalam kapasitas non-resmi untuk membentuk komitmen kerjasama mengelola wilayah ini.

Adapun upaya-upaya yang dilakukan oleh Indonesia melalui dialog multilateral ini antara lain :

a. Penyelenggaraan kerjasama
Penyelenggaraan dialog mengenai masalah Laut Cina Selatan pertama kali dilakukan pada tahun 1990 dan dijadikan sebagai dialog rutin tahunan sejak tahun 1991. Dialog ini dilakukan sebagai langkah awal menangani masalah kedaulatan yang sangat sensitif. Kepemimpinan Indonesia dalam memelopori kerjasama membentuk kelompok-kelompok diskusi isu-isu kunci dalam masalah Laut Cina Selatan yaitu isu kedaulatan wilayah, isu-isu keamanan dan politis, keamanan pelayaran, manajemen sumber daya dan mekanisme institusional. Pada akhirnya, kesepakatan perlunya kerjasama dalam banyak hal untuk menangani potensi konflik dalam masalah Laut Cina Selatan pun disetujui.

b. Technical Working Groups, Groups of Experts dan Study Groups
Dialog ini juga melibatkan aktor-aktor non-negara seperti ahli-ahlikelautan dan akademisi. Dalam pembentukannya, tim yang tergabung mencari jalan terbaik bagi semua pihak yang bersengketa dengan menjalankan proyek kerjasama dalam hal monitoring ekosistem yang ada di Laut Cina Selatan, keamanan navigasi, pelayaran dan komunikasi. Proyek kerjasama dalam bidang penelitian keragaman hayati berhasil disepakati.

3. Militerisasi dan Konflik Bersenjata
Militerisasi dan konflik bersenjata akan mudah terjadi karena adanya beberapa faktor yaitu implikasi dari internasionalisasi konflik internal suatu negara tidak menutup kemungkinan akan menyeret negara lain untuk masuk ke dalam konflik tersebut, pertarungan antara petinggi-petinggi negara yang akan mempengaruhi lingkungan luar negeri negara tersebut, dan meningkatnya persaingan-persaingan negara maju untuk membangun pengaruh yang sangat menonjol di kawasan yang bersengketa.

Konflik bersenjata di Paracel dan Spratly dipertajam dengan adanya klaim yang dipertegas melalui aksi pendudukan militer oleh sejumlah negara yang terlibat di dalamnya. Konflik senjata pertama kali terjadi di wilayah Laut Cina Selatan pada tahun 1974 yaitu antara Cina dan Vietnam. Kemudian terjadi untuk kedua kalinya pada tahunm 1988, dilatarbelakangi dengan makin intensifnya persaingan Cina-Vietnam di Indocina.

Konflik senjata yang kedua antara Cina-Vietnam ini mengandung arti penting karena selain menunjukkan supremasi Cina di Spratly, juga membawa dua perkembangan yang saling berhubungan yang mempunyai konsekuensi terhadap stabilitas kawasan ini di masa depan. Pertama, penegasan kembali klaim-klain Cina dan Vietnam atas kepulauan Paracel dan Spratly, kedua, meningkatnya militerisasi Cina, Vietnam, dan negara-negara pengklaim lainnya.

Terjadinya bentrokan militer antara Cina dan Vietnam pada pada Maret 1988 tersebutlah yang menjadi pendorong utama militerisasi Laut Cina Selatan dalam upaya menegaskan dan mengamankan kawasan tersebut, Sampai saat ini kecuali Brunei, masing-masing pihak telah menentukan “land base” diantara gugusan pulau-pulau Spratly, sekaligus menempatkan tentaranya di kawasan itu secara tidak menentu dan tanpa pola yang jelas.

Situasi mulai berubah sejak Cina mempercepat program modernisasi Angkatan Laut dan meningkatkan kehadiran militernya di kepulauan tersebut. Cina mulai mengirimkan pasukannya sejak tahun 1973 dan terus membentengi posisi mereka di Paracel dan gugusan Spratly. Vietnam selatan menggunakan kemampuan militer atas klaimnya sejak tahun 1969 ketika negara itu mengirimkan pasukan ke kepulauan Paracel. Vietnam mulai menyatakan pemilikannya atas Spratly tahun 1975 dengan menempatkan tentaranya di 13 pulau kelompok Kepulauan Spratly.

Di antara negara-negara Asia Tenggara, Filipina merupakan negara pertama yang menggunakan kekuatan militer untuk menegaskan klaimnya di Laut Cina Selatan. Pada tahun 1968 Filipina menempatkan marinir pada sembilan pulau.

Malaysia merupakan negara terakhir yang menempatkan pasukannya, pada akhir 1977 dan kini menduduki sejumlah sembilan pulau dari kelompok Kepulauan Spratly. Pada 4 September 1983 Malaysia mengirim sekitar 20 Pasukan Komando ke Terumbu Layang-layang. Brunei merupakan satu-satunya negara yang menahan diri untuk tidak menempatkan pasukannya di wilayah Spratly.

Dalam kenyataannya Louisa Reef yang telah diklaimnya bahkan telah diambil alih Malaysia. Secara umum, negara negara pantai di Laut Cina selatan telah membangun kekuatan militer dalam beberapa waktu belakangan ini. Cina, misalnya kini sedang membangun kekuatan Angkatan Laut yang besar, berencana membeli dua kapal induk, dan membangun pangkalan udara militer yang dilengkapi radar canggih di Pulau Woody, kelompok Kepulauan Paracel.

Pangkalan ini, bila telah selesai, memungkinkan Cina memberikan perlindungan udara terhadap Kepulauan Spratly. Selain itu, negara-negara lainnya juga meningkatkan kemampuan Angkatan Lautnya untuk menjaga klaim dan pendudukannya. Akhir-akhir ini di kawasan Kepulauan Spratly, Cina membangun pangkalan dan instalasi militer di Pulau Karang Mischief sejak 1995 dan diperluas pada 1998. Menurut Beijing, bangunan itu hanyalah tempat pemukiman para nelayan nama Mischief sendiri berasal dari bahasa Cina yang berarti Meiji (wilayah Cina).

Pengaruh Pendekatan Preventif dalam Penyelesaian Konflik

Penggunaan mekanisme diplomasi preventif cukup signifikan pengaruhnya dalam penyelesaian sengketa-sengketa secara damai. Pihak pemerintah negara-negara yang mengklaim semakin menyadari efek konfrontasi militer berdampak buruk bagi semua pihak dan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan konflik tersebut juga terlalu besar.

Pengaruh signifikan diplomasi preventif yang dijalankan dapat dijelaskan sebagai berikut:

• Mencegah negara-negara untuk melanjutkan sengketa. Pembahasan ini bertujuan untuk menyamakan persepsi negara-negara bersengketa terhadap kawasan yang menjadi sengketa dan bersama-sama mengelola kawasan tersebut menjadi ladang perekonomian bagi semua pihak.

• Menyelesaikan sengketa dengan jalan damai. Pada bulan Maret 2005, Cina-Vietnam- Filipina menandatangani MOU kerjasama dalam bidang eksplorasi energi dan sepakat untuk menghentikan klaim atas kepemilikan Kepulauan Spratly.

• Negosiasi antara pemerintah Malaysia dan Brunei Darussalam dalam membicarakan hak pengelolaan ladang minyak di sekitar Sabah terus berlangsung. Selain itu, dialog ini berhasil membangun visi kerjasama di bidang keamanan, politik, navigasi, manajemen sumber daya alam, perlindungan lingkungan dan riset ilmiah kelautan serta mekanismenya.

Melalui forum ini, Indonesia mengemban peran terdepan sehingga masalah ini menjadi isu yang dibahas dalam forum yang lebih besar yaitu ARF (ASEAN Regional Forum) dan ASEAN Post-Ministerial Conference, yang berhasil mendudukkan 22 negara se-Asia Pasifik untuk mencari jalan penyelesaian terciptanya code of conduct antar negara yang bersengketa. Norms-building ini penting untuk mengatur usaha-usaha kerjasama yang dilakukan.

Tahun 2002, ASEAN dan Cina menandatangani Declaration on the Conduct of Parties in South China Sea, dimana ini merupakan kesepakatan multilateral pertama yang dilakukan oleh Cina dalam masalah sensitif ini. Dalam rangka mengimplementasikan kesepakatan ini, Cina-ASEAN Joint Working Group kemudian melakukan pertemuan (2006) dan menghasilkan kesepakatan bahwa kedua belah pihak berkomitmen menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Laut Cina Selatan.

ASEAN dalam Pengelolaan Konflik Laut Cina Selatan

ASEAN adalah organisasi subregional yang berdiri sejak tahun 1967 yang bertindak sebagai suatu forum yang efektif dan dapat diandalkan dalam penyelesaian konflik-konflik di Asia Tenggara. Regionalisme ASEAN merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan yang lebih luas yaitu regionalisme Asia Pasifik karena dalam sengketa konflik Laut Cina Selatan tidak hanya melibatkan negara-negara Asia Tenggara saja tetapi juga melibatkan negara-negara non-ASEAN seperti Cina dan Taiwan.

Adanya konflik ini akan membawa dampak tidak saja terhadap kerjasama ekonomi ASEAN yang selama ini telah membawa hasil yang maksimal, tetapi juga terhadap kelangsungan ASEAN sebagai organisasi regional yang memayungi kepentingan nasional masing-masing anggotanya.

Ada empat keputusan organisasi ASEAN yang dapat dijadikan landasan dan instrumen dalam pengelolaan konflik Laut Cina Selatan. Keempat keputusan organisasional tersebut antara lain :

1. Deklarasi Kuala Lumpur 1971
Deklarasi ini membahas tentang kawasan damai, bebas, dan netral (Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN)).

2. Traktat Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara
Traktat ini dihasilkan dan disetujui pada KTT ASEAN I pada tahun 1976.

3. Pembentukan ASEAN Regional Forum (ARF)
ASEAN Regional Forum dibentuk pada tahun 1994 dan pertemuan pertama kali dilangsungkan di Bangkok.

4. KTT ASEAN V (1995)
Pada KTT ASEAN V menghasilkan traktat mengenai kawasan bebas senjata nuklir di Asia Tenggara (Treaty on South East Asia Zone-Nuclear Free Zone).


Instrumen yang Dapat Mencegah Konflik Laut Cina Selatan

Konsep ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom and Neutrality) merupakan refleksi dari sikap ASEAN yang sesungguhnya tidak mau menerima keterlibatan yang terlalu jauh dari negara-negara besar wilayah Asia Tenggara. ASEAN mengusahakan pengakuan dan penghormatan Asia Tenggara sebagai zona damai, bebas dan netral oleh kekuatan luar seraya memperluas kerjasama antar negara se-kawan sebagai persyarat bagi memperkuat kesetiakawanan dan keakraban semua negara yang ada di kawasan.

Konsep ZOPFAN yang dirumuskan April 1972 sebenarnya memberikan kontribusi besar bagi kehidupan regional di Asia Tenggara. Pedoman yang terdapat dalam konsep tersebut adalah bahwa regionalisme Asia Tenggara tidak boleh “mengganggu” “kemerdekaan, kedaulatan, persamaan, keutuhan wilayah dan kepribadian nasional setiap bangsa” dan bahwa setiap negara harus dapat “melangsungkan kehidupan nasionalnya bebas dari campur tangan, subversi atau tekanan luar”.

Program ZOPFAN mempunyai unsur-unsur yang sangat berperan dalam pencegahan konflik. Unsur-unsur utama tersebut adalah :

1. Memperkuat jaringan kerjasama bilateral antara negara-negara ASEAN,
2. Mengembangkan suatu bangunan yang mengikat negara-negara ASEAN dan negara-negara di sekitarnya,
3. Mengembangkan politik dan keamanan demi terciptanya perdamaian, stabilitas dan kesejahteraan di negara-negara ASEAN,
4. Mengembangkan dan memaksimalisasi program Piagam PBB.
Peran ASEAN Regional Forum (ARF) dalam Mengatasi Potensi Konflik Laut Cina Selatan
ASEAN Regional Forum (ARF) adalah forum resmi antar pemerintah dengan tujuan membangun kepercayaan antara negara-negara ASEAN dan negara-negara Asia Pasifik untuk membicarakan masalah-masalah kawasan regional secara terbuka dan melalui jalan damai. ARF terbentuk dari implikasi terbentuknya sistem multipolar di dunia internasional dan kawasan Asia.

Dengan demikian ARF merupakan forum multilateral pertama di Asia Pasifik untuk membahas isu-isu keamanan. Pembentukan lembaga ini merupakan sebuah langkah mendahului oleh negara-negara ASEAN, yang memberi arti sukses dan kemandirian pengelompokkan regional itu. Ini juga merupakan salah satu bukti keunggulan ASEAN dalam memanfaatkan momentum agenda keamanan kawasan. Misalnya keberhasilan ASEAN dalam melakukan dialog multilateral tentang masalah di Laut Cina Selatan. Keberhasilan tersebut merupakan upaya penting untuk mencegah pecahnya konflik antarnegara yang terlibat sengketa perbatasan di kawasan Asia pasifik. Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa ARF memiliki peran yang signifikan dalam berbagai isu keamanan yangmenyimpan sejumlah konflik.

ARF menjadi semakin penting ketika perannya sebagai satu-satunya forum keamanan yang cukup memegang andil di kawasan Asia Pasifik dan cukup berperan dalam penyelesaian konflik-konflik regional, termasuk konflik Laut Cina Selatan.




BAB III
KESIMPULAN

Terhadap Kepulauan Paracel yang melibatkan Vietnam dan Cina serta Kepulauan Spratly yang melibatkan enam negara, merupakan faktor kritis yang dapat menggoyahkan keamanan Regional yang terus berkembang secara tak menentu,oleh karena itu Indonesia sebagai negara yang terkemuka di ASEAN diharapkan dapat memelopori untuk mulai meningkatkan hubungan kerja sama dengan Cina dalam segala kegiatan terutama dibidang Ekonomi dan Militer dengan selalu mempertajam kewaspadaan mengenai apa yang berkembang di Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.

Terhadap kedua negara yang sedang berkonflik seharusnya dapat lebih memahami peraturan mengenai status kepemilikan kepulauan Paracel. Dewan keamanan PBB pun diharapkan dapat menjadi penengah untuk mendamaikan konflik tersebut agar tidak menjadi konflik yang berlarut.




DAFTAR PUSTAKA

1. Peter lewis Young, “The Potential for Conflict in South China Sea”, (The Various Names Given to the Spratly), Asian Defence Journal, 1995.
2. Asmani Usman, “konflik Batas-batas Teritorial di kawasan Perairan Asia”, dalam Strategi dan Hubungan Internasional, Indonesia di Kawasan Asia Pasifik,
3. “The law of People’s Republic of China on It’s Territorial Waters and Contiguous Areas”, 25 Febuari 1992.
http://www.google.com. The law of People’s Republic of China on It’s Territorial Waters and Contiguous Areas”, 25 Febuari 1992.
4. Kompas, “Militer Filipina Bongkar Bangunan Cina di Spratly”, Jakarta, 24 Maret 1995.
5. Abdul Rivai Ras, “Konflik Laut Cina Selatan dan Ketahanan Regional Asia Pasifik”, PT. Rendino Putra Sejati dan TNI AL: Jakarta, 2001
6. Hasan Habib, “Kapita Selekta: Strategi dan Hubungan Internasional”, Jakarta: CSIS. 1996.
7. “The Joint Communique of ASEAN Foreign Minister”, Brunei: Agustus, 1995.
8. Etty R. Agoes, “Masalah territorial dan yurisdiksional di Laut Cina Selatan dan upaya-upaya untuk mengatasinya”,PT. Pro Yustisia, 1993.
9. Ermaya Suradinata,”Geopolitik dan Konsepsi Ketahanan Nasional”,cetakan pertama Mei 2001.

3 komentar:

  1. Nice article. Great jobs. Tapi saya bisa menemukan referensi dalam tulisan Anda dan menjadi vital dalam tulisan akademik. Apakah memang Anda tidak melakukan atau ada masalah ketika upload?

    BalasHapus
  2. maksudnya ga ada footnotenya ya mba? footnote sengaja saya hilangkan karena pada proses upload menjadi tidak terlihat. hanya menjadi tulisan" yang mengganggu dan tidak beraturan. mungkin karena saya kurang paham tentang blog ini mba :)

    BalasHapus
  3. nice :)
    bisa buat pencerahan ni hhe
    saya juga sedang menganalisa keadaan LCS sekarang
    juga kepentingan Indonesia disitu, tapi kayaknya Indonesia ga ikut cawe2 ya, selama natuna ga kesenggol hhe

    BalasHapus