Minggu, 30 Mei 2010

Diplomasi Uni Eropa terhadap Siprus-Turki - [Siti Octrina Malikah 209000061]

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Sejarah Siprus


Siprus adalah sebuah pulau yang berada di Laut Tengah yang masyarakatnya terpengaruh dari dua jenis negara yaitu Yunani dan Turki. Secara sejarah, Siprus pernah di datangi oleh orang-orang dari Yunani, Asyria, Mesir, Romawi, dan Turki yang berkunjung dan kemudian menetap di pulau terbesar ketiga di laut mediterania tersebut. Siprus adalah negara yang pertama kali dimasuki oleh ajaran agama Kristen dan mayoritas masyarakat Siprus pun memeluk agama Kristen Ortodoks. Ketika kekuasaan Byzantium runtuh, datanglah kekhalifahan Othmaniah yang datang membawa ajaran agama Islam pada pertengahan abad ke-16, dan kepemimpinan Othmaniah ini memberikan izin tinggal kepada 20.000 penduduk muslim. Ketika itu, tentulah tidak disadari, bahwa pemukiman tersebut pada akhirnya dapat melahirkan konflik etnis yang berkepanjangan antara keturunan Yunani yang Kristen dan keturunan Turki yang Islam.

Kekhalifahan Othmaniah lalu mengadakan perjanjian dengan Inggris untuk mengantisipasi serbuan Rusia setelah di sejumlah wilayah pasukannya dipukul mundur oleh Rusia. Perjanjian itu menyatakan Siprus di bawah administrasi Inggris, meski tetap termasuk dalam daerah kekuasaan Turki Othmaniah. Pada masa inilah masyarakat Turki banyak berimigrasi ke Siprus dan membentuk keluarga sehingga budaya Turki cukup melekat di Siprus. Pada akhirnya ketika pecah Perang Dunia I, perjanjian itu dibatalkan karena Turki yang memihak kepada Jerman dan otomatis membuat Inggris membatalkan hak Turki ke atas Siprus. Secara geografis, Siprus adalah wilayah Asia namun uniknya Siprus memiliki pengalaman sejarah, kultur dan politik yang lebih dekat ke Eropa daripada Asia.

1.2. Konflik Siprus-Yunani dan Siprus-Turki


Siprus sendiri yang pernah dijajah Inggris justru menyebabkan konflik antara Siprus-Yunani dan Siprus-Turki semakin tajam.
Kelompok Siprus-Yunani menginginkan agar Siprus diintegrasikan saja kepada Yunani. Situasi bertambah kacau ketika Letnan Kolonel Grivas dari Yunani membentuk pasukan gerliya bernama Ethniki Organosis Kipriakou Agonos (EOKA) untuk memujudkan cita-cita tersebut. Kelompok Siprus-Turki yang dipimpin oleh Fazil Kucuk berbalik menuntut agar Siprus diserahkan saja kepada Turki, atau dengan opsi lain, yaitu dilakukan pemisahan wilayah untuk kedua etnis. Namun, kemudian pada 16 Agustus 1960 diadakan perundingan antara Siprus dan Inggris yang menghasilkan bahwa pada akhirnya Siprus adalah sebuah negara merdeka. Keputusan ini lantas ditentang oleh Yunani dan Turki yang menganggap bahwa sebagian wilayahnya masing-masing berada di Siprus.

Akhirnya, perundingan dilangsungkan di Zurich, antara pemerintah Turki dan Yunani. Kesepakatan pada akhirnya dicapai di London antara pemerintah kedua Negara tersebut ditambah perwakilan etnis Siprus-Yunani dan Siprus-Turki. Hasilnya, berdirilah Republik Siprus yang mewadahi dua etnis, dua bahasa, dan dua kebudayaan yang dipimpin oleh Uskup Makarios (Siprus-Yunani) terpilih sebagai Presiden dan Fazil Kucuk (Siprus-Turki) terpilih sebagai wakil presiden. Namun, dikarenakan masing-masing memiliki ego dan sentimen yang kuat berakibat tidak efektifnya pemerintahan pada saat itu. Setelah kemunculan permasalahan di kalangan pemerintahan ini, tak lama kemudian konflik etnis pun pecah.

Sebagai akibat dari pengambilan kekuasaan oleh perwira-perwira[1] Yunani yang ingin menggabungkan Siprus dengan Yunani tahun 1974, Turki segera menduduki bagian utara dari pulau tersebut. Selanjutnya 38% dari Siprus diduduki oleh Turki dengan kehadiran 20.000 pasukannya. Akibatnya, penduduk asal Yunani terpaksa meninggalkan bagian utara siprus dan 60.000 orang Turki didatangkan dari negara induk untuk merubah keseimbangan demografi bagian utara Siprus.[2]
Etnis Siprus-Turki yang kemudian dipimpin oleh Rauf R. Denktas itu pun pelan-pelan menyadari kenyataan baru bahwa Siprus memang sulit untuk tidak terbagi. Maka, pada 15 november 1983, di proklamirkan Turkish Republic of Northern Cyprus (TRNC). Untuk menandai wilayah perbatasan masing-masing, ditapal batas Siprus-Yunani terdapat papan yang berisi tulisan The Last Divided Capital atau “Ibu Kota Terakhir yang Terbelah”. Dan, ketika kembali ke wilayah Siprus Turki ada sambutan papan Welcome.

Akan tetapi, dunia menolak Siprus Utara sebagai sebuah negara yang berdaulat ditambah lagi blokade yang dilakukan Siprus Selatan mempersulit kegiatan perdagangan Siprus Utara sehingga menyebabkan Siprus utara yang belum cukup mandiri ini mengalami keterpurukan secara ekonomi. Siprus Utara yang merasa diperlakukan tidak adil akhirnya meminta bantuan kepada Turki sebagai negara terdekat sekaligus sebagai negara yang memiliki ikatan budaya yang kental dengan Siprus Utara.

1.3. Kegagalan Reunifikasi Siprus Utara dan Siprus Selatan


Turki juga memprotes pertimbangan Uni Eropa untuk men jadikan bagian Siprus-Yunani sebagai anggotanya, sedangkan bagian Siprus-Turki tidak diberikan kesempatan yang sama. Karena tindakan Turki yang dirasa meresahkan, maka PBB dan Uni Eropa memberikan peneningkatan tekanan terhadap Turki berkaitan dengan sengketa Siprus sebagai bentuk pembelaan terhadap salah satu anggotanya yaitu Siprus-Yunani. Pada tahun 1980an hingga 1990an, pasukan perdamaian PBB dikirim ke Siprus namun solusi damai selalu gagal dicapai.

PBB juga mengirim pasukan perdamaian UNFICYP (United Nation Force in Cyprus) pada tahun 1964. UNFICYP mendapat mandat untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional, menggunakan upaya terbaiknya dalam rangka mencegah pertempuran terjadi kembali dan berkontribusi dalam pemeliharaan dan pemulihan hukum dan peraturan serta menjadikan kondisi di Siprus normal kembali. Dengan ketiadaan political settlement dalam konflik Cyprus, mandat UNFICYP diperpanjang secara periodik dan masih berlangsung hingga sekarang meskipun dengan kondisi yang berbeda.[3]

Dalam rangka pencapaian kesepakatan antara kedua pihak, Siprus-Turki dan Cyprus-Yunani, PBB mengajukan beberapa resolusi. Resolusi-resolusi tersebut antara lain Resolusi 367 Dewan Keamanan PBB, Resolusi 37/253 Majelis Umum PBB, Perjanjian di bawah Sekjen PBB Javier Pérez de Cuéllar tahun 1984-1986, Proprosal ‘Set of Idea’ tahun 1992 di bawah Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali, dan Dokumen ‘Annan Plan’ tahun 2002-2004 di bawah Sekjen Kofi Annan yang mengajukan jalan perdamaian melalui proses reunifikasi dengan rotasi kepemimpinan[4]. Namun resolusi-resolusi tersebut belum mampu membawa kesepakatan bagi kedua belah pihak dan dapat dikatakan resolusi tersebut gagal.


Melalui perundingan-perundingan yang berjalan selama lebih dari 20 tahun, penyelesaian konflik Siprus belum menghasilkan keputusan yang memuaskan. Bagaimanapun juga, parameter dasar penyelesaian konflik telah disetujui secara internasional. Siprus akan menjadi federasi bi-zonal dan bi-komunal. Penyelesaian masalah juga diharapkan dapat meliputi kerangka konstitusional, pembagian wilayah, pengembalian properti kepada pemilik sebelum tahun 1974 dan atau pembayaran kompensasi, pengembalian penduduk yang diusir, demiliterisasi Siprus, hak-hak menetap atau repatriasi penduduk Turki, dan pengaturan pemeliharaan perdamaian di masa yang akan datang.[5]

Lewat draft Annan Plan di bawah Sekjeen PBB Kofi Annan, diusulkan penyatuan kembali Pulau Siprus sebelum bergabung dengan Uni Eropa.
Sekjen PBB Kofi Annan mengajukan 5 revisi sejak November 2002, yang terakhir diajukan untuk membagi referendum pada 24 April 2004. Rencana tersebut mengajukan pendirian satu Republik Siprus Bersatu (United Cyprus Republic), diatur oleh tingkat federal dan dua negara konstituen (negara Siprus-Turki dan negara Siprus-Yunani). Sebagian besar wewenang akan diserahkan ke negara konstituen sementara tingkat federal bertanggung jawab terhadap hubungan luar negeri, kebijakan moneter, keuangan federal, kewarganegaraan, dan imigrasi.

Dalam pelaksanaan rencana tersebut, Annan Plan hanya akan terlaksana jika kedua pihak menerimanya lewat referendum yang dilaksanakan pada 24 April 2004. Inggris dan Amerika sebagai kekuatan penjamin tampak mendukung rencana tersebut termasuk Turki. Pemerintah Yunani memilih untuk netral. Pada April 2004, masyarakat Cyprus-Turki mendukung rencana tersebut dengan margin hampir 2-1 dan Cyprus-Yunani memilih untuk menentang rencana tersebut dengan margin sekitar 3-1.

Pada 1 Mei 2004, satu minggu setelah referendum, Cyprus bergabung dengan Uni Eropa. Di bawah ketentuan Uni Eropa, seluruh wilayah pulau tersebut dianggap sebagai anggota Uni Eropa. Bagaimanapun, ketentuan acquis communautaire, hukum Uni Eropa masih diragukan di wilayah utara pulau. Seiring kekalahan rencana PBB dalam referendum, tidak ada keputusan untuk memulai perundingan lagi di antara kedua belah pihak. Sementara kedua belah pihak telah setuju untuk melanjutkan upaya pencapaian kesepakatan, Sekjen PBB justru tidak bersedia memulai proses hingga ia yakin benar perundingan-perundingan berikutnya akan menghasilkan penyelesaian komprehensif berlandaskan rencana yang ia berikan pada tahun 2004.

Namun, hal-hal diatas lantas tidak membuat Siprus-Turki mundur, justru ia semakin memperkuat pertahananannya guna mendapatkan pengakuan. Siprus-Turki juga tumbuh pesat beberapa tahun terakhir. Pada 2005 bahkan pernah tumbuh 10,5 persen dan pembangunan infratruktur sangat terasa kencang di seluruh wilayah kecil tersebut seperti pembuatan jalan, yang lama diperlebar, untuk perlintasan dibuat overpass. Pendapatan per-kapitanya kini USD 17 ribu, lebih tinggi daripada Turki yang USD 13 ribu. Meskipun, masih lebih rendah dibandingkan dengan Siprus-Yunani yang sekitar USD 23 ribu. Dalam urusan ekonomi bisnis, memang Siprus-Yunani dirasa lebih kompeten dan maju dibandingkan Siprus-Turki, terbukti dengan adanya McDonald’s dan warung kopi global Starbucks berada di wilayah Siprus-Yunani, hanya sekitar seratus meter dari Kantor Imigrasi Siprus-Turki. Siprus-Turki banyak mendapat pemblokadean yang dilegitimasi Uni Eropa, mungkin karena hal tersebut yang akhirnya membuat para pebisnis enggan untuk membuka bisnisnya di Siprus-Turki.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Regionalisme

Regionalisme dapat diartikan sebagai negara-negara yang terletak di area geografis yang sama, di mana dapat bekerjasama satu sama lain untuk memecahkan suatu permasalahan-permasalahan bersama dan mencapai tujuan jauh diatas kapasitas yang dapat dicapai oleh negara. Organisasi regional meliputi organisasi aliansi militer, perjanjian ekonomi, dan organisasi politik. Piagam PBB mendoroong regionalisme sebagai pelengkap dari organisasi global ini[6]. Regionalisme terdeskripsikan lewat berbagai kriteria seperti secara geografis, militer/politik, ekonomi, dan transnasional. Diluar hal-hal pokok tersebut, regionalisme juga secara kontemporer dapat dimasukan ke dalam kriteria lain, seperi bahasa, agama, kebudayaan, kepadatan penduduk, dan iklim[7].

Kerjasama regional tersebut sudah barang tentu memerlukan pengaturan secara regional pula. Negara-negara yang biasanya tergabung dalam suatu kerjasama regional dapat bersumber dari beberapa kepentingan dengan pandangan serta perasaan kedaerahan dan identitas yang sama seperti yang dikatakan oleh Michael Leifer dalam tulisannya Regionalism The Global Balance and Southeast Asia bahwa :

“The actual manifestation of regionalist behavior on the part of state may derive from a variety of sources. It may arise from a common sense of place and identity, from the prospect of mutual advantage in corporation and from a perception of common external danger. But, however, a common sense of region represented in institutional from by sovereign state contiguous to one another is, above all a political expressions.”[8]

(Suatu wujud nyata manifestasi dari perilaku regional suatu negara dapat berasal dari berbagai sumber. Dapat timbul dari rasa persamaan identitas dan tempat tinggal, dari prospek keuntungan timbal balik dalam kerjasama dan permasaan persepsi mengenai bahaya eksternal bersama. Namun secara logika merupakan sebuah regional yang diwakili oleh institusi dari sebuah negara yang berdaulat, yang bersifat menular satu dengan yang lainnya, adalah sebuah bentuk dari ekspresi politis)

2.2. Uni Eropa sebagai Organisasi Regional paling berpengaruh di Eropa

Uni Eropa sebagai organisasi supranasional yang merupakan organisasi antar-pemerintahan mempunyai legitimasi yang cukup kuat untuk mempengaruhi konstelasi politik dalam negeri setiap anggotanya. Tujuan dari Uni Eropa itu sendiri adalah menciptakan kemajuan dan perkembangan politik dan ekonomi di negara-anggotanya untuk mencapai pembangunan yang seimbang dan berkelanjutan. Ada suatu tanggung jawab yang cukup berat bagi Uni Eropa yaitu untuk mempertahankan konsistensinya terhadap tujuan didirikannya Uni Eropa itu sendiri.

Uni Eropa mempunyai kelebihan dari segi hard power dan soft power sehingga mampu menarik negara-negara di kawasan Eropa sangat tertarik untuk bergabung dengan Uni Eropa. Hard power yang dimaksudkan di sini artinya tindakan nyata yang memaksa atau memiliki sanksi untuk memaksa penegakan aturannya, sementara soft power merupakan media yang tidak nyata namun tetap mengikat anggota-anggota Uni Eropa misalnya ideologi dan kekuatan budaya. Turki sendiri memandang Uni Eropa menguasai sebuah kekuatan yang amat luar biasa dan berpikir bahwa jika Turki bergabung menjadi anggota Uni Eropa maka ia pun akan terpengaruh dampak positif dari keanggotaan tersebut. Turki menyadari keuntungan yang didapatkan saingannya, Yunani, sehingga ia melakukan perbaikan dan perubahan budaya yang sangat signifikan dengan tujuan memperoleh predikat keanggotaan tersebut[9].

Uni Eropa tidak mungkin akan berdiam diri saat menyaksikan ada konflik di tubuh salah satu anggotanya karena apabila ia berdiam diri saja maka kemungkinan masalah internal salah satu anggotanya tersebut kemudian akan meluas dan mengganggu stabilitas negara tetangganya. Saat permasalahan domestik ini semakin menyebar maka akan sangat berkemungkinan mengganggu stabilitas sistem Uni eropa itu sendiri. Maka, Uni Eropa cenderung selalu turun tangan dalam mengatasi semua masalah negara-negara anggotanya dengan maksud agar masalah tersebut dapat diselesaikan dengan lebih baik dan lebih cepat sebelum semakin memburuk sesuai dengan kapabilitas yang dimiliki Uni Eropa dan power yang dimilikinya atas integrasi negara-negara anggotanya.

2.3. Permasalahan Siprus-Turki mencakup Regional hingga Global

Permasalahan Siprus yang belum terselesaikan tidak hanya menimbulkan kesulitan hubungan Turki-UE, tetapi juga terhadap kerjasama NATO-UE, terutama di lingkup kerjasama strategis. Permasalahan bilateral antara Siprus dan Turki sangat mempengaruhi agenda kegiatan keduanya, Turki-EU dan EU-NATO. Perubahan iklim internasional menimbulkan adanya peningkatan kebutuhan akan kolaborasi antara Amerika Serikat dan Eropa dalam konteks NATO dan ESDP, tetapi ternyata permasalahan Siprus yang belum terselesaikan ini juga berpengaruh terhadap peningkatan kerjasama NATO dan ESDP kearah yang lebih baik. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa permasalahan Siprus ini bukan hanya melibatkan hubungan Turki-UE dan Turki-Yunani, tetapi melibatkan isu yang lebih luas misalnya hubungan antara NATO dan UE. Oleh karena itu permasalahan Siprus ini bukan hanya mengenai pulau tersebut, tetapi juga mencakup wilayah regionalnya dan secara internasional. Namun urgensi yang paling utama jelaslah teletak di pundak Uni Eropa selaku organisasi regional terkuat dan paling berpengaruh di Benua Eropa.

Permasalahan yang melibatkan Yunani ini telah menjadi konflik regional bahkan internasional jika dikaitkan dengan keanggotaan Turki di NATO yang akhirnya mau tidak mau permasalahan ini juga terhembus hingga ke NATO. Untuk menyelesaikan permasalahan yang telah berlangsung lebih dari 40 tahun ini memang tidak mudah, namun peran serta Uni Eropa memang akan berdampak cukup besar dan berkemungkinan untuk menyelesaikan permasalahan ini.

2.4. Peran Uni Eropa mengatasi Permasalahan Siprus-Turki

Permasalahan yang terjadi di Siprus saat ini bisa dikatakan telah menjadi faktor terbesar yang secara negatif mempengaruhi hubungan antara Turki dan Uni Eropa. Hubungan antara Turki dan Uni Eropa semakin memanas dengan hadirnya permasalahan ini karena dengan masalah ini pintu gerbang bagi Turki untuk masuk ke Uni Eropa akan semakin dipersulit terbukti dengan begitu banyaknya pembaharuan atas perbincangan mengenai keinginan bergabungnya Turki ke Uni Eropa dikarenakan permasalahan Siprus ini. Ada kemungkinan permasalahan bergabungnya Turki ke Uni Eropa tidak akan sesulit sekarang ini andaikan tidak ada permasalahan Siprus yang menyebabkan ditundanya beberapa poin persyaratan keanggotaan Turki di Uni Eropa.

Permasalahan yang terjadi di Siprus saat ini juga telah menjadi agenda pembahasan di Uni Eropa karena ini menyangkut Siprus sebagai negara anggota dan Turki yang telah disetujui untuk dipertimbangkan menjadi anggota Uni Eropa begitu Turki mampu memenuhi seluruh butir persyaratan yang diajukan Uni Eropa. Bagaimanapun juga, mengenai proses keanggotaan Turki di Uni Eropa merupakan permasalahan politik. Sentimen dikarenakan Siprus telah menjadi faktor yang rumit sejak intervensi militer Turki pada tahun 1974. Publikasi yang dilakukan oleh Agenda 2000 pada tahun 1997 mencatat tingkat hubungan yang minim antara Turki-UE[10]. Mekipun sejak tahun 2004 Siprus telah menjadi anggota Uni Eropa, tetapi Uni eropa kurang menganggap Siprus Utara sebagai bagian dari Uni Eropa dikarenakan masih banyaknya intervensi dari Turki yang notabene non-UE.



BAB III

PENUTUP


Kehadiran aktor eksternal kini semakin dibutuhkan dalam penyelesaian konflik internasional. Keterlibatan aktor eksternal, khususnya organisasi regional dan organisasi internasional sebagai pihak yang netral diharapkan dapat menjadi mediator bagi dua pihak yang bersengketa. Dalam krisis Siprus, yang berlangsung sejak awal abad 20 ini, salah satu aktor eksternal yang memegang peranan penting dalam upaya penyelesaian konflik adalah Uni Eropa. Uni Eropa sebagai organisasi regional paling berpengaruh dan mempunyai hard power dan soft power terkait integrasi anggotanya merupakan organisasi yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah ini dikarenakan kedekatan wilayah geografis, latar belakang budaya dan pengalamannya dalam menyelesaikan konflik di kawasan Eropa selama bertahun-tahun.

Uni Eropa mempunyai bargaining position yang mampu memberikan posisi tawar kepada masing-masing negara yang bersengketa agar permasalahan dapat terselesaikan dengan lebih cepat dan tanpa membuang-buang waktu seperti sebelum-sebelumnya. Turki mempunyai keinginan yang sangat besar untuk bisa bergabung sebagai anggota Uni Eropa, sebenarnya Uni Eropa bisa menjadikan hal ini sebagai stimulator tercapainya kesepakatan atas Pulau Siprus bukannya menjadikan hal ini untuk menghambat Turki masuk ke Uni Eropa demi mendukung ketidakinginan Uni Eropa beranggotakan Turki. Uni Eropa seharusnya berhenti mempolitisasi permasalahan hukum antara Siprus-Turki dan merealisasikan konsistensinya terhadap tujuan Uni Eropa itu sendiri yaitu untuk menciptakan stabilitas ekonomi dan politik di negara-negara anggotanya dengan membuat kesepakatan-kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak, baik Turki ataupun Siprus.

Permasalaha Siprus-Yunani dan Siprus-Turki yang sudah berlangsung sejak lama memang bukanlah hal yang sederhana untuk diselesaikan. Namun, usaha yang dilakukan pihak-pihak eksternal, dalam hal ini Uni Eropa, seharusnya lebih memberikan mediasi yang netral dan tidak memihak pada negara manapun. Sekali lagi saya tegaskan, apabilan Uni Eropa memainkan peran sesuai dengan kapasitasnya dengan memanfaatkan situasi yang ada antara Turki-UE tanpa adanya keinginan untuk mempolitisasi dalam permasalahan ini maka konflik segitiga antara Turki-UE-Siprus akan lebih mudah diselesaikan.



DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Bretherton, Charlotte dan John Vogler. The European Union as a Global Actor. Newyork: Routledge, 2006

Mauna, Boer. Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamina Global. Bandung: P.T. Alumni, 2005

McMahon, Edward dan Scott Baker Piecing a Democratic Quilt?: Regional Organizations and Universal Norms. USA: Kumarian Press, Inc., 2006

Artikel dan halaman web:

www.agora-dialogue.com

www.cires.eu

www.europa.eu/lisbon_treaty/faq/index_en.htm#1

www.globalissues.org/article/114/the-cyprus-crisis

www.todayszaman.com

Amanda Paul. Cyprus and the audacity of hope. 7 Februari 2010

Amanda Paul. The Turkey-EU-Cyprus triangle. 18 April 2010

Jurnal:

Prof. Dr. Atila Eralp. The Last Chance in Cyprus Negotiations and the Turkey-EU Relationship. “Thesis”. Hellenic Foundation for European and Foreign Policy. Februari 2010

Steve Wood. The EU and Turkey: Political Machinations in a Three-Level Game. “Working Paper 139”. Australian National University: National Europe entre. November 2004



[1] Perwira-perwira yang berasal dari junta militer milik Yunani

[2] Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, (Bandung: PT Alumni, 2000), hal. 35-36

[3] http://www.cires.eu, Elena Baracani, The Impact of the EU’s Democratic Anchoring on the Settlement of the Cyprus Crysis (book on-line)

[4] Rotasi kepemimpinan yang dimaksud adalah apabila periode ini presiden berasal dari Siprus-Yunani maka wakilnya berasal dari Siprus-Turki dan kemudia di periode berikutnya presiden berasal dari Siprus-Turki dan wakilnya berasal dari Sirus-Yunani

[6] David Weigall, International Relations, (London: Arnold Publisher, 2002), hal. 191.

[7] Theodore A. Couloumbis dan James H. Wolfe, Introduction to International Relations, (New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1982), hal.295-296.

[8] Michael Leifer, Regionalism in Southeast Asia, (CSIS: 1975), hal. 55

[9] Edward McMahon dan Scott Baker, Piecing a Democratic Quilt?: Regional Organizations and Universal Norms, (USA: Kumarian Press, Inc., 2006), hal. 21-22

[10] Charlotte Bretherton dan John Vogler, The Europian Union as a Global Actor, (Newyork: Routledge, 2006), hal. 50 dan 54

1 komentar: