Selasa, 25 Mei 2010

SEJARAH DIPLOMASI INDONESIA – AMERIKA SERIKAT SEBELUM DAN SESUDAH KEMERDEKAAN INDONESIA

Oleh:

Ahmad Yafie Rizki

209000089

Hubungan Internasional

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang masalah

Selama kurang lebih 350 tahun Indonesia dijajah oleh Belanda. Indonesia hanya mendapat sedikit keuntungan dalam segi ekonomi. Kita tidak dapat segala sumber daya alam dengan baik dan semaksimal mungkin, karena sistem monopoli yang diterapkan oleh Belanda di Indonesia. Hubungan AS dengan Nusantara (nama bagi Indonesia pada zaman dahulu) dimulai pada zaman penjajahan Belanda. Kala itu AS memulai dengan melakukan perdagangan yang dimonopoli oleh VOC, kongsi dagang Belanda di Hindia Belanda kala itu. Berawal dari datangnya para pedagang dari Salem, Massachusetts, mereka hampir berhasil menguasai perdagangan lada hitam di Aceh. Tapi usaha mereka gagal karena Belanda memperluas monopoli rempah-rempah di Indonesia. Untuk mengakhiri ini, seorang sultan dari Aceh mengutus utusannya untuk melakukan pendekatan kepada AS, di kantor konsulat AS terdekat, yaitu di Singapura. Akhirnya pendekatan itu membuahkan hasil dengan diteruskannya usulan dari utusan Aceh ke Washington melalui konsul AS di Singapura, A.G Studer. Namum demikian, hubungan dagang AS dengan Belanda tidak berjalan mulus. AS menekankan prinsip-prinsip pasar bebas yang bentrok dengan Belanda yang menetapkan sistem prefrensial guna mengatur perdagangan.

2. Rumusan masalah

Seberapa berpengaruhkan diplomasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap Indonesia semasa zaman sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia?

3. Kerangka pemikiran

Sudut pandang analisa dari kasus ini adalah dari pihak Indonesia. Konsep national interest sangat besar dan berpengaruh dalam hal ini. Sejauh mana Indonesia mendapatkan keuntungan dan kerugian dari berdiplomasi dengan Amerika Serikat. Keuntungan apa yang yang didapat dan kerugian apa yang didapat baik secara finansial, diplomatik, dan lain-lain.

BAB II

PEMBAHASAN

Ketika Indonesia pertama kali dikenalkan kepada Amerika Serikat, para pemegang kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia tidak memiliki seorangpun dengan pengalaman perang seperti Julius Tahija. Julius Tahija merupakan satu-satunya orang Indonesia dengan kedudukan tertinggi yang mengingatkan betapa karyawan perusahaan mereka dipaksa untuk mengalami banyak usaha untuk merepotkan mereka termasuk sesi-sesi indoktrinisasi anti kapitalisme berjam-jam lamanya tiap hari, tetapi kedua pemimpin utama RI, Soekarno – Hatta malah bekerjasama dengan musuh AS, Uni Soviet dalam ikatan kebencian bersama kepada kolonialisme yang merupakan prinsip bagi AS tetapi merupakan persoalan bagi RI yang memandang penetrasi komunis terhadap Negara-negara di Eropa sebagai ancaman besar. Pada tahun 1910, Amerika Serikat secara resmi memasuki iklim industri di Indonesia dengan cara memasuki industri karet Indonesia sebagai mitra Belanda. Pandangan AS terhadap Indonesia berubah total pada awal tahun 1946 disaring melalui Eropa. Pada 17 Januari 1949, di tandatangani perjanjian Linggarjati yang berakhir pada kegagalan. Kemudian dilanjutkan oleh perundingan Renville. Pada titik inilah AS mulai melakukan diplomasi politiknya melalui utusannya Frank Porter Graham dengan melakukan langkah yang dianggap gagal dan kembali ke AS di University of North Carolina. Selanjutnya Graham digantikan Merle Cochan diposisi Komisi Penengah Jasa Baik. Cochran membuat sebuah rencana untuk melacarkan dan mempercepat Perundingan Renville ini, yaitu dengan membuat “Cochran Plan” yang berisi agar Belanda secara step by step memberikan kedaulatan pada Indonesia. Usaha yang dilakukan oleh Cochran untuk memberi tahu anggota dan staff dari Komisi Jasa Baik di Kaliurang digagalkan oleh kantor telegraf yang dikuasai Belanda. Isi pesan Cochran adalah: “bahwa satu-satunya wakil RI yang bebas di Batavia gagal melakukan komunikasi dengan beberapa pemimpin di Yogyakarta.” Terkait dengan masalah Irian Barat, pada Mei 1956, Presiden Soekarno menandatangani Undang-Undang No. 13 Tahun 1956 mengenai pembatalan sepihak Uni Indonesia - Belanda, karena sikap tidak bersahabat Belanda dan penolakannya untuk menyerahkan kembali Irian Barat kepada Indonesia. Pada tahun yang sama, Presiden Soekarno berkeliling ke negara-negara AS, China, Uni Soviet, dan Yugoslavia untuk mendapatkan dukungan bagi perjuangan merebut kembali Irian Barat.

Belanda menanggapi pesan itu dengan meluncurkan bom-bom dan dijatuhkan di lapangan udara Yogyakarta. PM Sjahrir menuliskan surat kepada Presiden AS, Harry S. Truman saat hari Natal 1945 yang menggambarkan betapa harunya penderitaan rakyat Indonesia setelah berakhirnya perang. Saat surat tersebut diterima di Washington, Deplu AS mengusulkan suatu kebijakan yang menjadikan As sebagai peninjau masalah Hindia Belanda yang mempunyai perhatian namum tidak berpihak. Dan AS pun akhirnya mau memberikan pertolongan yang diminta oleh Sjahrir setelah perundingan, invasi dan pembrontakan telah menguji kebenaran.

Tapi tak lama setelah iru munculah pembrontakan PKI di Madiun. Walter Foote, kepala perwakilan AS di Hindia Belanda mendukung dengan jalan membujuk pemerintahan Perdana Menteri Sjharir guna menerima suatu persetujuan gencatan senjata pada bulan Oktober 1946. Lalu pemerintahan AS sedikit member sumbangan terhadap perundingan menuju kepada penyelesaian politik secara keseluruhan. Semenjak Perjanjian Linggarjati, pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan beberapa dekrit, salah satu dekritnya yang dikeluarkan pada tanggal 27 Januari 1947 yaitu melarang pengapalan ke pelabuhan-pelabuhan RI. Secara kebetulan, ada sebuah kapal AS, Martin Behrman sedang akan merapat ke pelabuhan Cirebon guna memuat komoditi karet. Dekrit tersebut merupakan embargo bagi RI yang sangat merugikan, dan potensi kerugian senilai 3 juta US$. Washington mencatatkan bahwa dekrit-dekrit yang dikeluarkan oleh Belanda menghalangi ekspor-impor komoditi. Sewaktu GOC AS sedang memulai tugasnya di Indonesia, sebuah delegasi dari Indonesia tengah bersiap untuk melakukan perjalanan ke New York dalam rangka menjalankan hak hubungan luar negeri dan perdagangan internasional yang diakui dalam perjanjian Renville. GOC sendiri adalah komite yang dibentuk untuk mengawasi perundingan antara Indonesia dan Belanda.

Salah satu tokoh penting dalam sejarah diplomasi Indonesia dan Amerika adalah Sutan Sjahrir. Kontroversi masih berlangsung sampai saat ini, soal bagaimana menilai perjuangan Sjahrir dalam meja diplomasi. Sebagian orang menyebut dirinya terlalu kompromis. Tetapi ada juga yang menilai, tanpa sang “Bung Kecil” di meja perundingan, Indonesia tidak akan seperti saat ini. Pada masa perjuangan kemerdekaan, Sjahrir adalah tokoh yang kerap tampil memimpin delegasi diplomasi. Semua strategi politik diletakkan di pundaknya agar kedaualatan Indonesia diakui Belanda dan negara-negara lain. Tidak semua sepakat dengan apa yang telah dihasilkannya di meja runding. Bahkan, dirinya pernah diculik oleh sebuah batalion tentara Republik Indonesia (RI). Sjahrir juga memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan yang diadakan di Bukit Linggarjati, Cirebon pada 15 November 1946. Pihak Belanda dipimpin Prof. Schemerhorn, dengan penengah Lord Killern (Inggris). Hasil perundingan ini merugikan Indonesia, karena wilayah menjadi kian sempit. Untuk itu, Perdana Menteri Sutan Sjahrir kemudian mengembalikan mandat kepada Presiden. Hasil perundingan ini kemudian juga menimbulkan kekecewaan pada sejumlah kalangan di Tanah Air.

Banyak yang menilai, kesepakatan Linggarjati adalah buah lemahnya diplomasi sehingga Indonesia gagal mempertahankan kedaulatan negara. Meski di tengah berbagai tekanan, Sjahrir tetap konsisten memperjuangan Indonesia di jalur diplomasi. Aktivis Rachman Tolleng menilai Sjahrir sebagai seorang yang rasional. Dia memimpin kabinetnya dengan tetap mengusahakan perjuangan lewat jalur diplomasi. Pada 14 Agustus 1948, Sjahrir memimpin delegasi Indonesia di sidang Dewan Keamanan PBB. Sebelum menuju New York tempat sidang dilaksanakan, Sjahrir singgah dulu di Kairo dan New Delhi. Tujuannya untuk melobi dukungan dari India dan Mesir. Kepiawaian Sjahrir ditunjukkan dalam sidang tersebut. Dia berhasil mematahkan argumen diplomat Belanda untuk PBB. Pidatonya dimulai dengan mengisahkan sebuah bangsa yang sudah mengenal tulisan sejak seribu lima ratus tahun silam, yang memiliki berserat-serat sejarah emas di bawah Sriwijaya dan Majapahit, yang terbentang dari Papua di Timur hingga Madagaskar di Barat. Dalam pasang surut sejarah yang sukar dirumuskan, bangsa itu mulai ditindas oleh orang-orang Eropa. Oleh karena diplomasi Sjahrir, Belanda gagal menunjukkan bahwa masalah Indonesia adalah urusan dalam negerinya sendiri. Dia berhasil mengarahkan penilaian wakil-wakil negara dunia untuk memihak kepada Indonesia.

Selain membantu Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan, AS pun memiliki tujuan lain, yaitu ingin membendung pengaruh komunisme yang didengungkan oleh Uni Sovyet. Di sisi lain, Amerika ingin menancapkan hegemoni perekonomiannya dengan berusaha mengusai sumber daya alam yang melimpah di Indonesia. AS juga berupaya menggulingkan pemerintahan Soekarno Hatta. Dimasa Perang Dingin, RI telah lama berusaha menarik perhatian AS. Presiden Soekarno pun memiliki kekhawatiran sendiri bahwa AS akan berusaha menarik Indonesia ke dalam Perang Dingin. Soekarno mempunyai alasan pragmatis yang sangat kuat untuk menghindari asosiasi Perang Dingin dengan AS. Kehidupan politik Indonesia pada tahun 1950 bertumpu pada landasan yang mudah menguap. Dari tahun 1945 hingga 1950 Indonesia telah sepuluh kali dengan Soekarno tetap menjadi pucuk pimpinannya. Di lain pihak, turut menggunakan cara ‘kotor’ untuk menggulingkan pemerintahan AS. Terjadinya sebuah perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada dekade 50-an didukung juga oleh para panglima yang memimpin daerah militer. Tahun 1956, Allen Dulles menunjuk kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi dan membenarkan pesimismenya. Perhatian penuhpun diberikan kepada kabinet Ali Sostroamidjojo yang kedua terhadap urusan-urusan luar negeri dan manuver-manuver dari para partai koalisi untuk memajukan masayarakat Indonesia. Soekarno memperkeruh suasana kritis di bulan Februari 1956 dengan menganjurkan demokrasi parlementer diubah menjadi “demokrasi terpimpin” yang dirumuskan secara samar-samar. Menurut Cummings, Soekarno dihadapkan pada suatu situasi dimana partai politik telah gagal memberikan kepemimpinan yang tegas kepada bangsa yang sedang mencari suatu alternatif lain yang efektif.

Hal ini meyebabkan kondisi ekonomi yang digabung dengan prakarsa demokrasi terpimpimpin yang dicanangkan oleh Soekarno memperkuat sentimen separatis di daerah-daerah luar pulau Jawa. Para pemimpin militer merasa kurangnya dukungan keungan dari pemerintah pusat. Situasi politik dan keamanan yang tengah bergejolak diperparah dengan adanya terror serta pergolakan dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Satu demi satu muncullah lembaga pemerintahan baru. Berawal dari Dewan Banteng di Padang yang dipimpin oleh Kol. Achmad Hussein, kemudian Dewan Gadjah di Medan dengan Kol. Simbolon sebagai pimpinan, Dewan Garuda di Palembang oleh Kol. Barlian. Pada puncaknya, muncul Permesta (Perlawanan Rakyat Semesta) di Makassar, Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual. Sebuah gerakan dilancarkan salah seorang kolonel, Kol. Kawilarang yang memimpin daerah militer di Jawa Barat. Dengan jalan menahan menteri luar negeri Roeslan Abdul Gani atas tuduhan korupsi. Langkah itu dirancang untuk menghancurkan kabinet Ali II pada 15 Agustus 1956. Namun Jendral Nasution menarik kembali surat perintah penangkapan sebelum Menlu Roeslan di jemput paksa dari rumahnya. Semua perlawanan dan pemberontakan dapat ditumpas oleh ABRI. Sempat ada kekhawatiran dari pihak AS menegenai investasinya yang ada di Sumatra, yaitu perusahaan minyak Caltex. Dubes AS yang baru diangkat berunding dengan PM Djuanda dan meminta pemerintah melindungi investasi AS. Bahkan As sampai mengirimkan dua batalyon USMC guna melindungi Caltex. Salah satu peristiwa yang membuat AS cukup takut dengan PKI adalah saat D.N Aidit menyerukan para serikat buruh yang bekerja di Caltex untuk mengambil ahli perusahaan tambang minyak tersebut. Namun PKI tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menjalankannya sebelum terjadi peristiwa-peristiwa lain. Kabinet Indonesia sempat mengalami reshuffle pada 2 Juni 1958. Namun hasilnya sangat mengecewakan bagi Jones maupun para pemegang kekuasaan Amerika Serikat di Washington. Allen Dulles memberikan instruksi kepada Jones dengan datang mengunjungi Jakarta dan mengadakan pertemuan dengan Soekarno pada tanggal 22 Juli untuk mendesak diambilnya langkah-langkah konkrit dan tegas untuk mencegah segala kemajuan-kemajuan aspek PKI

Di sisi lain, Badan Intelijen Amerika (CIA) melihat ini sebagai sebuah keuntungan untuk memperbesar hegemoni AS. Dalam sebuah catatan resmi CIA yang ditulis oleh Allen Dulles, direktur CIA itu menyatakan: “Di atas segalanya, lakukanlah apa yang kau dapat perbuat agar Sumatra tidak jatuh ke tangan komunis!”. Dalam sebuah briefing rahasia, John M. Allison, dubes AS untuk RI tidak diberitahu tentang langkah-langkah kegiatan rahasia yang akan diambil pihak-pihak lain dalam pemerintahan AS guna melindungi Sumatra dan pulau-pulau luar Jawa lainnya dari pengaruh komunisme. Pergolakan militer dan politik tidak berhenti sampai disini. Bagi para pejabat kedutaan besar AS yang ditugaskan untuk menghadiri pertemuan-pertemuan di mana presiden memberikan wejangan, Soekarno makin nampak sebagai seorang revolusioner dari teori Marxist. Uni Sovyet memiliki keyakinan bahwa Soekarno adalah seorang komunis yang bekerja sesuai dengan rencana jangka panjang dalam rangka menyerahkan negara kepada PKI. Pada bulan April 1964, keluarlah “Manifesto Kebudayaan” yang memproklamirkan ‘kebebasan menyatakan pendapat’ para artis.

Pada dua bulan berikutnya PKI melancarkan “Komando Aksi” guna memboikot film-film AS. Salah satu upaya lain AS menggulingkan presiden Soekarno adalah dengan cara memberikan citra buruk kepada masyarakat Indonesia. Upaya tersebut adalah pembuatan topeng dengan dasar dari foto Soekarno. Kemudian topeng tersebut dikirim ke Filipina lalu digunakan oleh seorang aktor dalam bermain di sebuah film porno. Tapi propaganda yang dilakukan AS tersebut tidak menggoyahkan situasi di RI, justru malah membuahkan dukungan yang semakin besar kepada Soekarno. Justru AS yang mendapat sentimen buruk dari warga Indonesia terkait usaha liciknya ini. Pada hampir semua isu dalam negeri, ucapan-ucapan Soekarno sangat dekat dengan pendirian PKI. Kajian dari pemerintah AS di Washington meramalkan bahwa perekonomian di Indonesia akan segera mengalami kehancuran. Ramalan buruk tersebut juga mereka barengi dengan ancaman bahwa AS akan menarik segala macam bantuannya ke Indonesia jika Soekarno tidak segera menarik mundur semua pasukan gerilya yang dikirim ke Kalimantan. Tentang AS, Soekarno selalu menggaris bawahi kata “go to hell with your aid! We can do without aid. We will never collapse”.

Seorang pejabat politik kedutaan dari AS, Vance Trent, yang bertugas dari tahun 1957 – 1964 menegaskan bahwa Indonesia sudah terbentuk seperti Czechoslovakia yang siap akan pengambilalihan kekuasaan kepada komunis. Bill Palmer yang selama 15 tahun dianggap sahabat oleh Soekarno, ternyata seorang agen CIA. Bidang Kuasa Usaha menuliskan bahwa tuduhan Soekarno terhadap Bill Palmer telah mengarahkan pisau tuduhan terhadap ratusan orang Indonesia, AS dan lain-lain yang telah menikmati keramahtamahan Bill. Dengan semakin jelasnya rincian bukti yang diungkapkan secara bertahap, jelaslah bahwa tuduhan tersebut sebenarnya diarahkan kepada lawan-lawan PKI di dalam TNI-AD. Jenderal Ahmad Yani mengatakan kepada Kol. George Benson bahwa semua tuduhan yang dilancarkan oleh Soekarno berdasarkan pada ‘dokumen-dokumen’ yang didapatnya. Tidak seorangpun dari pihak AS diberi kesempatan untuk melakukan penyelidikan terhadap indikasi awal. Dalam sebuah kajian CIA yang tercatat pada tahun 1968 berspekulasi bahwa “Dewan Jenderal” merupakan distorsi dari PKI, entah itu sengaja dikarangkan atau bayangan keliru. Kajian ini juga menyebutkan Jenderal Yani membentuk ‘brain trust’ yang terdiri dari lima jenderal. Dari kajian ini, CIA menyimpulkan sebuah saran untuk Jenderal Yani agar memberitahukan Soekarno mengenai ‘ brain trust’, karena Soekarno menganggap jawaban Yani terhadap pertanyaannya bersifat sebuah pengelakan yang menambah kecurigaan.

BAB III

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat penulis dapat dari kasus ini adalah bahwa keinginan Amerika Serikat untuk menguasai Indonesia sangat besar, dimana Amerika Serikat ingin sekali menguasai segala aspek yang dapat menghidupi semua masyarakat Indonesia. Upaya ini sangat terlihat saat usaha penggulingan pemerintahan Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan, pemerintahan yang masih kaku, belum berpendirian tegas, belum mandiri dan tidak memiliki landasan kekuatan pemerintahan yang kuat menjadikan Indonesia negara yang rapuh dan sasaran empuk untuk dilakukan propaganda oleh Amerika Serikat. Dari segi militer Amerika serikat juga ingin menguasai aspek penting di bidang keamanan nasional ini. Kerapuhan dalam tubuh militer Indonesia saat itu juga menjadi perhatian Amerika Serikat. Besarnya kekuasaan Soekarno telah menjadikan para perwira menengah dan tinggi ABRI pada saat itu ingin memisahkan diri dari pemerintahan. Militer dapat digunakan sebagai alat kekuasan yang ampuh. Sebagaimana kita tahu, para perwira memiliki rasa nasionalisme yang kuat dan loyalisme terhadap atasan yang tinggi. Keinginan besar Amerika Serikat untuk menancapkan hegemoni ekonomi liberalnya juga sangat besar dan terasa hingga saat ini. Terkait ekonomi liberal, Amerika Serikat sendiri memiliki cara melalui propaganda. Indonesia harus bias memerangi kebijakan dagang luar negeri Amerika Serikat yang lebih menunjukan “dagang di atas segalanya”. Gerakan-gerakan local berbasis massa, pertimbangan dan perdebatan dapat menekana elit pemerintah dan elit korporasi untuk membuka proses politik tersebut. Pentingnya penekanan pada pada aspek kemajuan ekonomi, bukan pada pasar dan pertumbuhan. Kebijakan ekonomi global telah memiliki bukti kuat bahwa kegiatan ekonomi sevara global telah menghancurkan sumber daya alam dimana-mana di Indonesia. AS melihat GNP Indonesia yang sudah ketinggalan zaman pada era globalisasi dan dengan mudah mendikte kebijakan ekonomi Indonesia. Sudah seharusnya para pemegang pemerintahan Republik Indonesia mulai melihat, menilai dan mencerna segala bantuan luar negeri dari Amerika Serikat dengan hati dan pikiran yang terbuka. Bisa jadi bantuan luar negeri AS merupakan “alat” untuk memperlemah Indonesia di segala aspek hidup Indonesia. Agaknya Indonesia harus berhati-hati dalam melihat peluang yang dimunculkan oleh Amerika Serikat agar tidak terjadi sebuah sistem yang mendominasi perekonomian bahkan seluruh aspek yang bisa memajukan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia sendiri. Pemerintah Indonesia juga harus jeli dalam melihat peluang agar tidak terjadinya “selingkuh” antara pengusaha dan para birokrat ‘nakal’ dan diharapkan bisa tegas untuk berkata “tidak” untuk kerjasama yang sebenarnya tidak menguntungkan Indonesia sendiri.

DAFTAR PUSTAKA:

Buku:

Snow, Nancy. Propaganda Incorporation. Opini: Jakarta. 2003

Pour, Julius. Benny: tragedy seorang loyalis. Kata Hasta Pustaka: Jakarta. 2007

Weiner, Tim. Membongkar kegagalan CIA. PT. gramedia pustaka utama: Jakarta. 2008

Gardner, Paul. Lima puluh tahun hubungan amerika serikat-indonesia, bersama dalam harapan, sendirian dan kecemasan. Pustaka sinar harapan: Jakarta. 1999

Internet:

www.dephan.com

www.google.com

www.tokohindonsia.com

www.id.wikipedia.com

1 komentar:

  1. Hindari penggunaan wikipedia dalam tulisan akademis. Tidak ada sumber referensi dalam tulisan (endnote atau footnote)?Fokus pembahasan tidak jelas terutama karena kamu tidak menggunakan periode jelas untuk menentukan sebelum dan sesudah. Pembahasan setail proses diplomasi tidak terpaparan dengan baik.

    BalasHapus