Minggu, 30 Mei 2010

Upaya Diplomasi oleh Bill Clinton untuk Membebaskan Jurnalis Amerika Serikat di Korea Utara

Oleh: Adi Permana (209000085)

BAB I: PENDAHULUAN

1.1. LATARBELAKANG MASALAH

Diplomasi merupakan sebuah instrumen yang ampuh dalam mengusahakan perwujudan perdamaian dunia (world peace). Antitesa dari diplomasi adalah perang, yang mana di dalamnya terdapat unsur kekerasan (violence). Cara berhubungan antar negara yang santun dan elegan coba diperagakan dalam praktik diplomasi. Diplomasi berkaitan dengan manajemen hubungan antara negara-negara dan antara negara-negara dengan aktor-aktor lain (Barston 1988:1). Dengan berkembangnya cara-cara diplomasi kontemporer, ditemukanlah suatu karakteristik atau ciri diplomasi abad ke-21 di mana peran aktor negara (state actor) dengan perwakilan resmi pemerintah tidak lagi menjadi aktor tunggal dalam diplomasi hubungan internasional, akan tetapi aktor negara pada kenyataannya saat ini tak dapat mengabaikan signifikansi dari munculnya kekuatan peran aktor-aktor non negara (non-state actors) guna menyelesaikan konflik antar negara. Ini erat kaitannya dengan konsep multi-track diplomacy yang telah mengemuka, di mana jalur-jalur diplomasi telah berkembang menjadi seluruhnya ada sembilan jalur (Lihat, Diamond&McDonald 1996)

Dalam konteks penulisan makalah ini, penulis akan menyoroti upaya diplomasi yang dilakukan oleh Bill Clinton untuk membebaskan jurnalis Amerika Serikat, yaitu Laura Ling dan Euna Lee, di Korea Utara. Menelaah kapasitas Bill Clinton sebagai aktor non negara dalam diplomasi adalah sesuatu yang menarik, apalagi yang akan dihadapi Clinton ialah petinggi negara diktator Korea Utara, Kim Jong Il. Sebagai awalan, memahami sejarah hubungan Amerika Serikat-Korea Utara (AS-Korut) secara garis besar adalah diperlukan guna mengetahui implikasinya terhadap hubungan AS-Korut yang terjadi di masa kini.

Dalam bab pendahuluan ini penulis tidak hanya akan menjabarkan sejarah singkat hubungan AS-Korut, tapi juga penulis menjelaskan bagaimana hubungan awal Bill Clinton dengan Kim Jong Il dapat terjalin. Kerangka teori yang dipakai untuk menjelaskan isi makalah serta rumusan masalah juga akan penulis kemukakan dalam bab ini.


1.1.1. Sejarah Singkat Hubungan AS-Korut

Menarik mundur waktu, kita dapat melihat sejarah Hubungan AS-Korut ibarat ’dua kutub yang berlawanan’ atau seringkali tidak harmonis, selalu dipenuhi konflik kepentingan (conflict of interest) yang mendasar. Semenjak masa Perang Dingin (Cold War), kedua negara itu berseberangan dalam hal politik-ideologi. AS dengan ide ’Free World’-nya sedangkan Korut dengan ide ’Komunis’-nya. Konstelasi politik internasional pada abad ke-20, sebelum keruntuhan Uni Soviet, memang masih didominasi oleh pandangan dunia yang bipolar di mana sistem internasional yang terbentuk mengacu pada dua kekuatan ideologi yang telah disebutkan tadi, yaitu ’Free World’ dimotori oleh AS dan ’Komunis’ dipimpin oleh Uni Soviet. Dalam konteks perang dingin, kepentingan AS dalam politik luar negerinya ialah memerangi ideologi komunisme, yang berarti memerangi Korut pula. Dalam perang saudara di tahun 1950 antara Korea Selatan (Korsel) dan Korut, AS secara jelas mendukung militer Korsel yang memihak Free World dengan mengirim angkatan perangnya dan bantuan persenjataan ke Korsel untuk menghadapi pemerintah komunis Korut. Perang ini disebut dengan proxy war, karena dianggap kedua Korea tersebut berperang atas mandat atau pengaruh kekuatan AS dan Uni Soviet. Usainya perang saudara tersebut tidak membuahkan hasil apa-apa pada akhirnya bagi kedua belah Korea, mereka tetap tidak bersatu.

Kemudian, seiring perjalanan waktu, Uni Soviet sebagai negara pelopor komunisme telah dinyatakan bubar pada tahun 1990. Namun demikian, perkiraan bahwa Uni Soviet adalah induk daripada komunisme dunia ternyata tidaklah sepenuhnya benar. Terbukti setelah bubarnya Uni Soviet, negara-negara komunis seperti Korut dan Kuba masih ada di dalam peta politik internasional.

Demikianlah sejarah singkat hubungan antara AS-Korut dalam konteks Perang Dingin yang mana penuh konflik politik-ideologis di dalamnya dan otomatis memberikan gambaran mengenai dampak terhadap keadaan hubungan AS-Korut kontemporer.

Pasca Perang Dingin, Hubungan AS-Korut sempat mereda dari konflik atau mengalami normalisasi pada masa pemerintahan Bill Clinton pada periode 1992-2000. Namun, normalisasi yang telah dibangun Clinton itu tidak bertahan lama setelah pemerintahan George W. Bush (2001-2009) bertindak non-kooperatif terhadap pemerintah Korut. Pemerintahan AS di bawah Bush menyatakan bahwa Korut adalah ’negara teroris’ atau ’rogue nations’ karena diduga telah mengembangkan senjata nuklir ilegal, yang mana AS berargumen bahwa Korut telah menyalahi Resolusi PBB tentang perdamaian dunia tanpa profilerasi senjata Nuklir.


1.1.2. Hubungan Korut dengan Pribadi Bill Clinton dan Kaitannya Masalah Pembebasan Jurnalis AS

Komunisme memang seperti hal yang tabu bagi pemerintah AS. Tetapi hal ini tidak berlaku dalam masa pemerintahan AS di bawah Bill Clinton pada periode 1992-2000. Dengan berbesar hati Bill Clinton menjalin hubungan yang harmonis dengan pemimpin Korut, Kim Jong Il. Hal tersebut menjadi dasar ketertarikan penulis untuk mengangkat suatu peristiwa yang belum lama terjadi, yaitu pada Maret 2009 di Korut, di mana dua orang jurnalis AS bernama Laura Ling dan Euna Lie ditahan oleh pemerintah Korut.

Jasa diplomasi yang dilakukan Bill Clinton, mantan Presiden AS, untuk bernegosiasi dengan petinggi Korut dalam usahanya membebaskan dua warga negara AS itu merupakan suatu usaha diplomasi yang unik karena proses hubungan diplomatik tersebut menyiratkan lebih kepada hubungan emosional atau kedekatan pribadi di antara kedua pemimpin itu daripada hubungan formal kenegaraan. Inilah yang menjadi latarbelakang mengapa penulis tertarik untuk mengangkat diplomasi yang dilakukan Bill Clinton di Korut, yaitu sebagai diplomasi ’Jalur Kedua’ yang menekankan pada pentingnya peran aktor non-negara dalam rangka memecahkan kebuntuan (deadlock) konflik dan menciptakan perdamaian.


1.2. Kerangka Teori


1.2.1. Multi-Track Diplomacy


Teori yang akan penulis gunakan di pembahasan adalah mengenai teori ’jalur kedua’ dalam diplomasi atau biasa disebut dengan Second Track Diplomacy. Menurut Dr. Louise Diamond dan Ambassador John McDonald dalam bukunya ’Multi-Track Diplomacy: A System Approach to Peace’ dijelaskan di dalam bab ’Track Two: Nongovernment/Professional’ bahwa Jalur Kedua diplomasi ini didasarkan pada asumsi bahwa diskusi tidak resmi memberikan ruang gerak atau keleluasaan yang mana tidak didapatkan dalam tatacara formal.[1] Tatacara formal itu menyangkut apa yang dilakukan aktor negara (state actor) dalam Jalur Pertama diplomasi (First Track Diplomacy) di mana seringkali ditemukan kekakuan di dalamnya karena banyaknya protokoler dan tatacara resmi lainnya yang harus dilakukan. Tatacara resmi ini seringkali menimbulkan kegagalan dalam diplomasi, dikarenakan suasana yang terbangun tidak mendukung terciptanya keakraban atau kedekatan personal.

Kegiatan formal menciptakan berbagai keterbatasan dalam ruang gerak. Wakil formal pemerintah tidak berbicara untuk untuk dirinya sendiri, tetapi mereka berbicara untuk pemerintah yang memiliki kepentingan nasional dibelakangnya dan mengikuti kaidah-kaidah resmi kenegaraan. Itulah sebab mengapa First Track Diplomacy berpotensi menuai kegagalan dalam usaha diplomasinya karena yang terwakilkan di dalam diri seorang diplomat bukanlah suara pribadi, melainkan suara pemerintah, yang memiliki batas-batas protokeler, kaku, tidak fleksibel, dan menyiratkan ada kepentingan nasional di belakang ucapan-ucapan seorang diplomat, yang mana hal ini selalu diwaspadai dan dicurigai oleh negara penerima agar berhati-hati dalam bernegosiasi. Lebih lanjut, menurut Dr. Louis Diamond dan Ambasador John McDonald, kelemahan first track diplomacy adalah terletak pada kekakuan, eksklusivitas, elitisme, dan adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang (Diamond&McDonald 1996:33).


1.2.2. Kepentingan Nasional (National Interests)

Selain teori multi-track diplomacy, penulis juga akan mengaitkan teori atau konsep kepentingan nasional (national interest) dalam pembahasan nanti. Kepentingan nasional dapat dijelaskan sebagai tujuan fundamental dan faktor penentu akhir yang mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu negara dalam merumuskan kebijakan luar negerinya (Perwita&Yani 2005:35). Selain itu, kepentingan nasional dimengerti sebagai ”the vital interests of a state of which survival is the first and foremost interest[1] (Amin, 2010)


1.3. Rumusan Masalah


Setelah melihat latarbelakang sejarah hubungan AS-Korut secara umum dan bagaimana sejarah hubungan Bill Clinton dengan Kim Jong Il terbangun, penulis memiliki dua hipotesis. Pertama, bahwa peran aktor non negara dalam diplomasi abad ke-21 semakin diharapkan kehadirannya dan semakin vital pengaruhnya untuk membantu kinerja delegasi pemerintahan resmi negara (state actor), dalam konteks penulisan makalah ini yaitu peran mantan Presiden AS Bill Clinton sebagai wakil non-resmi pemerintahan AS dalam misinya ke Korut. Kedua, bahwa di balik misi pengiriman Bill Clinton ke Korut adalah merupakan suatu usaha pemerintahan AS Barack Obama untuk mendapatkan kepentingan nasionalnya melalui peran non-state actor yang diwakilkan oleh Bill Clinton. Kepentingan nasional AS dalam hal ini ialah “melindungi segenap warga AS dimanapun ia berada”. Dua hipotesis yang penulis kemukakan tersebut akan diuji lebih lanjut di dalam bab pembahasan.

Kemudian, dari penjabaran keseluruhan dalam bab pendahuluan ini yang telah dikemukakan, maka timbullah pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1) Apa sebab kedua wartawan AS, Laura Ling dan Euna Lee ditahan oleh pemerintah Korut? Kemudian, seberapa besar signifikansi peran Bill Clinton sebagai non state actor berkaitan dengan pembebasan jurnalis AS di Korut?

2) Dibalik misi diplomatik Clinton ke Korut untuk penyelamatan dua jurnalis AS , seperti apakah persepsi yang timbul di mata internasional seputar terjadinya peristiwa tersebut?


BAB II: PEMBAHASAN


2.1. Usaha Pembebasan Laura Ling dan Euna Lee dan Signifikansi Peran Diplomasi Bill Clinton


2.1.1. Penyebab Penangkapan Laura Ling dan Euna Lee di Korut

Sebelum membahas mengenai diplomasi Bill Clinton di Korut lebih jauh, kita harus mengetahui dulu apa penyebab dua jurnalis AS, Laura Ling dan Euna Lee ditangkap oleh pihak berwenang Korut.

Kedua jurnalis AS itu ditangkap di perbatasan Korut-China, Maret, karena dituduh memasuki wilayah teritorial Korut secara tidak sah[1] (Kompas.com, 2009). Kedua jurnalis dari Current TV AS itu sedang menyusun laporan di dekat perbatasan Korut-China dan tanpa disangka mereka tertangkap petugas berwenang Korut. Interogasi intensif dilayangkan kepada keduanya di mana tempat interogasi itu berlokasi di wisma militer di daerah pinggiran kota Pyongyang, Ibukota Korut. Hasilnya mereka dituduh selain secara illegal masuk wilayah Korut, juga dicurigai melakukan tindak spionase[2] (Lee, 2009). Atas dasar tuduhan tersebut, keduanya dijerat dengan hukuman 12 tahun kerja paksa oleh Pengadilan Korut karena telah digolongkan melakukan kejahatan berat sebagai penyusup yang mana melanggar etika kedaulatan negara Korut.


2.1.2. Peran Bill Clinton dalam Negosiasi dengan Kim Jong Il

Bill Clinton dikenal sebagai sosok yang tenang dan bersahabat. Sosoknya yang tenang dan bersahabat itu tercermin pada masa pemerintahannya dalam konteks menjalin hubungan bilateral dengan Korut. Dalam periode masa jabatannya ia menjadi presiden AS, bersama Wakil Presiden Al Gore, AS telah menjalin hubungan yang relatif baik dengan Korut. Ia pernah mengupayakan perbaikan hubungan dengan Korea Utara, bahkan saling menukar utusan tingkat tinggi pada menjelang akhir masa jabatannya. Langkah itu mencuatkan perkiraan bahwa Washington dan Pyongyang akan mengakhiri permusuhan mereka selama berpuluh tahun dan melakukan normalisasi hubungan[1] (EGP, 2009).

Salah satu tugas diplomasi yang terpenting yang ialah representasi (Barston 1988:2). Dengan demikian, tugas representasi ini benar-benar harus dipertimbangkan secara matang menyangkut pemilihan sosok yang kapabel guna bernegosiasi dengan lawan. Representasi berkaitan dengan citra, oleh karena itu upaya AS untuk melakukan negosiasi dengan Kim Jong Il kemudian dipercayakan pada sosok Clinton. Kepercayaan pada kemampuan diplomasi Clinton ini tak lepas dari track record bagus yang dimiliki olehnya berkaitan dengan hubungan baiknya dengan Kim Jong Il di masa lalu. Jadi, wajar saja kemudian Clinton ditunjuk sebagai utusan diplomatik non resmi AS dalam upaya penyelamatan dua jurnalis AS, Laura Ling dan Euna Lee di Korut. Melihat pada asumsi 'Jalur Kedua' diplomasi (second track diplomacy) bahwa diskusi tidak resmi memberikan ruang gerak atau keleluasaan yang mana tidak didapatkan dalam tatacara formal (Diamond&McDonald 1996:37), hal ini terllihat pada proses negosiasi antara Bill Clinton dengan Kim Jong Il yang memiliki kedekatan personal telah membawa diskusi antar keduanya lebih fleksibel, tidak terpaku pada protokoler kenegaraan.


“Kehadiran Clinton di Pyongyang juga memberikan faktor lain, perubahan persepsi pendekatan strategis diplomasi dalam konteks alih generasi Kim Yong Il ... Bagi Korut, kehadiran Clinton sekaligus menjadi panggung diplomasi global bahwa pemimpin paling berkuasa ini masih mengendalikan kekuasaan dan mampu mengambil keputusan politik melepaskan dua wartawan AS[2]“ (Pattiradjawane 2009).

Korut sebagai negara komunis yang masih eksis hingga saat ini merupakan sebuah dilema bagi AS sendiri yang mana dikenal sebagai negara anti-komunis. Namun pandangan anti-komunis AS nyatanya telah berubah menjadi hubungan pragmatis. AS dalam hubungannya dengan Korut tidak lagi sekeras dulu, di mana dewasa ini politik-ideologi tak lagi menjadi hambatan kedua negara untuk saling berhubungan dan saling bicara, menyadari bahwa perlunya tindakan kerjasama (kooperatif) untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua negara, dalam konteks permasalahan pembebasan jurnalis AS di Korut.

Tindakan kerjasama ini ditunjukan dalam diplomasi yang dilakukan Bill Clinton. Perubahan pandangan AS ini mengimplikasikan bahwa dalam usaha mencari titik temu demi mengusahakan perdamaian, AS akan melakukan segala upaya yang memungkinkan agar tidak terjadi konfrontasi dengan Korut.

Melihat pada diplomasi yang dilakukan Bill Clinton di Korut, dapat disimpulkan bahwa teori atau konsep multi-track diplomacy, khusunya menyangkut ‘diplomasi jalur kedua' (second track diplomacy), telah terbukti pengaruhnya atau signifikansinya terhadap arah kebijakan diplomasi kontemporer. Melalui data dan fakta yang ada, praktik diplomasi yang diperagakan Bill Clinton terhadap upaya pembebasan dua jurnalis AS di Korut merupakan bukti dari keampuhan teori multi-track diplomacy atau ‘diplomasi melalui banyak jalur’. Berikut merupakan konsep ‘diplomasi jalur kedua’ yang menjelaskan betapa diplomasi jalur kedua dapat digunakan sebagai instrumen diplomasi yang ampuh ketimbang hanya mengandalkan diplomasi jalur pertama:

Track Two is transformational, positing a worldview in which power politics is superseded by mutual empowerment.; … collaboration and inclusivity replace competition and exclusivity; international relations are seen as ongoing relationship between all the people, not crisis or situational relationships between governments; and the international community is called to address human and environmental issues, not just the political side of world affairs”(Diamond&McDonald 1996:37)

Dalam memandang diplomasi Bill Clinton di Korut, seperti yang diungkapkan oleh Diamond dan McDonald, kita dapat merujuk isu diplomasi Bill Clinton sebagai isu kemanusiaan (human issues) yang mana dapat menjelaskan perihal dikemukakannya maksud dan tujuan di balik misi diplomatik, yaitu untuk tujuan membebaskan Laura Ling dan Euna Lee atas nama kemanusiaan. Selain itu, tendensi dalam hubungan diplomatik yang mengarah pada kolaborasi dan inklusivitas telah menggantikan tendensi hubungan yang mengarah pada kompetisi dan eksklusivitas di mana hal tersebut tercermin pada diplomasi Bill Clinton yang menekankan pada kolaborasi ketimbang kompetisi antara kedua negara. Hasilnya, melalui pembicaraan tatap muka selama tiga jam antara mantan presiden Bill Clinton dengan petinggi Korut Kim Jong Il, Laura Ling dan Euna Lee berhasil dibebaskan dengan instruksi langsung dari Kim Jong Il[3] (BBC, 2009).

Dengan demikian, hal ini tentunya memperkuat hipotesis penulis bahwa peran aktor non negara dalam diplomasi abad ke-21 semakin diharapkan kehadirannya dan semakin vital pengaruhnya untuk membantu kinerja delegasi pemerintahan resmi negara (state actor) dalam mengemban tugas diplomatik.


2.2.

Persepsi Menyangkut Kepentingan Nasional Pemerintahan AS Barack Obama di Balik Sosok Bill Clinton

2.2.1. Mempertaruhkan Citra AS di Mata Dunia dalam Konteks Melindungi Warga Negaranya di Luar Negeri


Misi diplomatik yang dilancarkan Bill Clinton ke Korut bukan tanpa intervensi pemerintahan AS di bawah Barack Obama. Kolaborasi antara state actor dan non-state actor telah terjadi di sini. Meski simpang siur seputar apakah aksi Clinton di Korut itu adalah murni misi pribadi atau membawa misi dari pemerintahan AS mengemuka, namun dilihat dari perspektif kepentingan nasional AS, penahanan dua jurnalis AS di Korut itu tak dapat terhindarkan sudah merupakan tugas wajib pemerintah AS untuk melindungi segenap warga negaranya dimanapun ia berada dan oleh karena itu misi penyelamatan harus dilakukan. Hal ini berkaitan dengan keyakinan AS untuk menyebarkan paham Hak Asasi Manusia (HAM) secara internasional, yang otomatis berarti adanya keharusan melindungi warga negaranya sendiri di luar negeri menyangkut perlindungan hukum HAM. Seperti yang umum diketahui bahwa negara komunis dalam pandangan AS adalah negara yang seringkali mengabaikan HAM. Oleh karena itu, dakwaan terhadap dua jurnalis AS oleh Pengadilan Korut dapat dianggap sebagai dakwaan yang tidak valid atau mengabaikan standar HAM internasional, maka pemerintah AS berkewajiban untuk menyelamatkan kedua warga negaranya itu dari jeratan hukum Korut.

Dalam suatu laporan, penghargaan AS terhadap HAM di seluruh dunia merupakan perhatian utama pemerintah AS, di samping penyebaran demokrasi[1] (Rice, 2006). Pemerintahan AS terus mengupayakan memajukan standar HAM di seluruh dunia. Dengan demikian, dengan ditangkapnya Laura Ling dan Euna Lee di Korut, hal tersebut bagi AS adalah dapat dikategorikan telah melanggar nilai HAM internasional, diperkuat dengan pandangan bahwa Korut merupakan negara komunis. Paham komunis Korut apabila dibandingkan dengan paham HAM dan demokrasi AS jelas bertolak belakang. Masyarakat komunis Korut merupakan masyarakat yang cenderung tertutup terhadap dunia luar dan peran negara di Korut adalah sangat mengekang kebebasan warga negaranya maupun warga negara asing yang berkunjung kesana. Sedangkan, di AS, hak kebebasan individu telah menjadi panji kebanggaan masyarakat AS beserta pemerintahannya.

Pada akhirnya, usaha pemerintah AS melalui jasa diplomasi mantan presiden Bill Clinton adalah merupakan suatu usaha untuk mempertahankan citra AS di mata dunia sebagai negara yang konsekuen melindungi warga negaranya dimanapun ia berada.


2.2.2. Kesuksesan Meraih Kepentingan Nasional di Korut


Dari penjabaran di atas, terlihat bahwa kepentingan nasional pemerintah AS di bawah Barack Obama adalah untuk melindungi segenap warga negaranya di luar negeri. Ditinjau secara logis, Pemerintah AS Barack Obama tidak mungkin hanya berdiam diri saja apabila mengetahui warga negaranya terancam keselamatannya di luar negeri. Meskipun beberapa pernyataan Gedung Putih mengindikasikan bahwa aksi Clinton tersebut adalah misi pribadi, namun pada perkembangannya hal tersebut dikritisi oleh sejumlah pakar. Menurut salah satu pengamat masalah Korut dari Universitas Cranfield di Inggris, Profesor Smith, adalah tidak mungkin apabila Bill Clinton mengambil langkah untuk berdiplomasi ke Korut tanpa dukungan penuh pemerintah AS (BBC, 2009). Sementara itu, bertolak belakang dengan analisa Smith, menurut Juru Bicara Gedung Putih, Robert Gibbs, misi Clinton ke Korut merupakan misi pribadi.

Kesuksesan AS meraih kepentingan nasionalnya di Korut dengan keberhasilan membebaskan dua jurnalisnya, Laura Ling dan Euna Lee, adalah dapat dikaitkan sebagaimana pengertian kepentingan nasional yang dapat dijelaskan sebagai 'tujuan fundamental dan faktor penentu akhir yang mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu negara dalam merumuskan kebijakan luar negerinya' (Perwita&Yani 2005:35). Perumusan kebijakan luar negeri oleh pemerintah AS dalam rangka mencapai kepentingan nasionalnya telah dipersiapkan dengan matang, yaitu dengan menunjuk Bill Clinton sebagai diplomat non-resmi AS. Tujuan fundamental politik luar negeri AS pada akhirnya dapat terpenuhi dengan dibebaskannya Laura Ling dan Euna Lee. Kemudian meninjau dari sudut pandang berbeda mengenai pengertian tentang kepentingan nasional, yaitu sebagai ”the vital interests of a state of which survival is the first and foremost interest” (Amin, 2009) ialah bagaimana kapabilitas AS untuk bisa memperjuangkan kepentingannya dan survive mempertahankan kepentingannya yang vital terkait pembebasan dua warga negaranya di Korut. Dengan demikian, hal ini telah menguatkan hipotesis penulis bahwa di balik misi pengiriman Bill Clinton ke Korut adalah merupakan suatu usaha pemerintahan AS Barack Obama untuk mendapatkan kepentingan nasionalnya melalui peran non-state actor yang diwakilkan oleh Bill Clinton.


BAB III: KESIMPULAN

Ditinjau dari segi sejarah, secara umum hubungan AS-Korut dapat dikatakan sebagai hubungan yang rumit. Sejak Perang Dingin (Cold War) kedua negara ini telah saling berseteru soal perbedaan ideologi. Seiring dengan perjalanan waktu, di dekade akhir abad ke-20, hubungan AS-Korut sempat mereda dari konflik dengan tampilnya Bill Clinton sebagai presiden AS periode 1992-2000. Namun normalisasi hubungan tersebut tidak bertahan lama karena pemerintahan George W. Bush (2001-2008) dalam melaksanakan politik luar negerinya cenderung konfrontatif dalam berhubungan dengan Korut.

Pada perkembangan selanjutnya, normalisasi hubungan AS-Korut kembali diusahakan dengan hadirnya diplomasi Bill Clinton ke Korut pada tahun 2009 untuk menyelamatkan dua jurnalis AS yang ditahan di sana. Meskipun dapat dikatakan hubungan AS-Korut dapat dijalin kembali melalui suatu kebetulan (insidentil), yaitu melalui suatu kejadian penangkapan warga AS di Korut, namun hal ini telah memperlihatkan bahwa usaha penyelesaian antara kedua belah pihak menyangkut kasus yang menimpa Laura Ling dan Euna Lee ternyata dapat diselesaikan melalui jalur damai atau diplomasi, alih-alih melalui jalur konfrontasi atau perang. Hubungan AS-Korut pada dasarnya sarat pertentangan ideologis yang keras antara keduanya, namun hal ini dapat dicairkan melalui upaya diplomasi Bill Clinton dengan mengedepankan prinsip kerjasama (cooperation) dalam berhubungan dengan pemimpin Korut, Kim Jong Il.

Upaya diplomasi oleh Bill Clinton untuk membebaskan dua jurnalis AS di Korut pada akhirnya menuai hasil positif setelah kedua jurnalis tersebut dibebaskan atas instruksi Kim Jong Il. Melalui peran Bill Clinton dalam berdiplomasi, hal ini merupakan sebuah torehan sejarah untuk membuktikan bahwa dalam teori multi-track diplomacy yang menjelaskan pentingnya eksistensi non-state actors sebagai aktor hubungan internasional adalah memang dapat menyumbangkan usaha perwujudan perdamaian dunia yang cukup signifikan.

Kemudian, dari sudut pandang kepentingan nasional AS Pemerintahan Barack Obama, sosok mantan presiden Bill Clinton terbukti mampu merealisasikan kepentingan nasional AS dalam usahanya melindungi segenap warga negaranya di luar negeri. Pencitraan di mata dunia internasional tetap terjaga, yaitu AS tetap konsisten dipersepsikan sebagai pelindung dan pembela HAM warga negaranya, yang diperlihatkan dalam keberhasilan pembebasan Laura Ling dan Euna Lee di Korut.


DAFTAR PUSTAKA


BUKU


Perwita, AAB & Yani, YM 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


Barston, RP 1988, Modern Diplomacy, USA: Longman Inc.


Diamond, L & McDonald, J 1996, Multi-Track Diplomacy: A System Approach to Peace, USA: Kumarian Press.


INTERNET
http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/SHRD-2006_indo.html

http://oase.kompas.com/read/2009/08/04/15484329/Bill.Clinton.Tiba.di.Korut..Bahas.Pembebasan.Wartawan

http://internasional.kompas.com/read/2009/08/12/06592457/Solusi.Efisien.Diplomasi.AS.Korut

http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2009/08/090804_clintonketemu.shtml

http://www1.kompas.com/read/xml/2009/08/05/07111395/bill.clinton.datang.2.wartawan.as.dibebaskan.....

http://www.huffingtonpost.com/2009/03/30/north-korea-will-try-2-us_n_180841.html

http://www.dawn.com/wps/wcm/connect/dawn-content-library/dawn/the-newspaper/editorial/14-national-interests-and-diplomacy-510-zj-08



[1] http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/SHRD-2006_indo.html (diakses pada 30 Mei 2010 pukul 21.49 WIB.)



[1]http://oase.kompas.com/read/2009/08/04/15484329/Bill.Clinton.Tiba.di.Korut..Bahas.Pembebasan.Wartawan (diakses pada 29 Mei 2010 pukul 23.44 WIB)



[2] http://www.huffingtonpost.com/2009/03/30/north-korea-will-try-2-us_n_180841.html (diakses pada 29 Mei 2010 pukul 17.30 WIB)



[1] http://www.dawn.com/wps/wcm/connect/dawn-content-library/dawn/the-newspaper/editorial/14-national-interests-and-diplomacy-510-zj-08 (diakses pada 29 Mei 2010 pukul 17.22 WIB)




[1] Diamond, Louis dan McDonald, John. Multi-Track Diplomacy: A Systems Approach to Peace. 1996. USA: Kumarian Press. hlm: 37





1 komentar:

  1. Nice article. Good jobs. Hati-hati dalam mengukur "signifikan" dalam menilai peran. Berdasarkan apa?

    BalasHapus