Sabtu, 29 Mei 2010

PENGEMBANGAN SEKTOR MILITER SEBAGAI ALAT DIPLOMASI CHINA

DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD ARGA RAMADHAN
207000133


I. Pendahuluan

Masyarakat dunia telah dikejutkan oleh pelaksanaan uji coba Persenjataan militer China. China telah berhasil mengadakan uji coba senjata anti satelit, dan ini berarti China merupakan negara ketiga yang mempunyai kemampuan menembak jatuh sasaran di ruang angkasa setelah Amerika Serikat (AS) dan Rusia.
“China melalui Tentara Pembebasan Rakyat China-nya berupaya mempercepat proses modernisasi militernya dan tidak akan pernah terlibat dalam perlombaan senjata maupun mengancam negara manapun” (DR. Yanyan Mochamad Yani, Drs., M.A.).
Namun masyarakat internasional tetap khawatir akan ambisi peningkatan kemampuan militer China. Ini dikarenakan pergeseran perimbangan kekuatan dalam era pasca perang dingin terjadi bersamaan dengan tampilnya China sebagai kekuatan politik dan militer, khususnya di kawasan Asia-Pasifik. Walaupun berbeda di tiap negara, kapabilitas militer di kawasan Asia-Pasifik sedang mengalami perkembangan khususnya di kawasan Asia Timur, Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Disadari bahwa perubahan geopolitik pasca perang dingin khusus di Asia-Pasifik memang lambat dibanding dinamika yang terjadi di permukaan dalam hubungan diplomatik. Kebangkitan pengaruh China, perkembangan senjata pemusnah massal, berkembangnya nasionalisme Asia berdasarkan sifat-sifat regionalisme, dan dilema regional atas masalah di Semenanjung Korea dan Selat Taiwan adalah penyebabnya.
Wilayah Asia-Pasifik terkesan dengan pertumbuhan kekuatan China. Perkembangan tersebut dimulai dari langkah penyatuan Mao Zedong pada tahun 1949. Kini, China telah menyulitkan Eropa dan AS melalui pembangunan militernya secara besar-besaran, karena kekhawatiran peningkatan kapabilitas tersebut akan mengancam kawasan Asia secara khusus dan dunia secara umum.
China yakin bahwa untuk memberikan jaminan keamanan, baik dari ancaman domestik maupun internasional, serta dalam mempertahankan dan memperluas wilayah kedaulatan, jawabannya ialah pada kebutuhan kekuatan militer. Ini dipengaruhi landasan ideologi komunis yang diusung China, bahwa revolusi adalah strategi utama bagi terciptanya masyarakat komunal.
Setelah era moderenisasi dan China yang lebih moderen oleh Den Xiaoping berjalan, sektor ekonomi menjadi poros utama politik luar negerinya. Sehingga berkaitan dengan ekonomi China yang membumbung, mereka membangun kekuatan militernya dalam rangka mempertahankan wilayah kedaulatannya, dan ancaman hegemoni dari negara major power. Apalagi dalam setiap pembangunan kapabilitas militer tentu membutuhkan modal yang tidak sedikit, dan perkembangan ekonomi yang signifikan tentu mendukung daya beli militer China. Dalam pembangunan dan moderenisasi militernya, China mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru untuk mencapai targetnya.

II. Perumusan Masalah

Pembahasan mengenai China Military and Regional Security ini akan terangkum dalam perumusan masalah atau research question berikut ini, yaitu :
1. Apakah alasan China mengembangkan militernya?
2. Sampai sejauh manakah perkembangan kapabilitas militer China?

III. Kerangka Pemikiran

Konsep pemikiran strategis digunakan sebagai keseluruhan pemikiran yang berkenaan dengan kemampuan dan cara-cara sebuah bangsa dalam mengontrol aspek-aspek lingkungan internasionalnya. Sehingga menyangkut kepada rumusan mengenai relevansinya terhadap strategi, doktrin, kebijaksanaan, dan aksi pada masa kontemporer. Kerangka pemikiran yang akan dipergunakan dibagi ke dalam empat bagian. Pertama kebijaksaan keamanan (security policy), dimana dimaksudkan untuk menciptakan kondisi politik nasional dan internasional yang dapat melindungi tujuan-tujuan dasar sebuah negara.
Ada tiga dimensi yang dibahas, salah satunya adalah kebijaksanaan militer yang secara langsung berkenaan dengan angkatan bersenjata dan penggunaan kekuatan militer, selain kebijaksanaan ekonomi dan diplomatik.
Kedua, dimensi strukturalis, dimana fokusnya pada ekonomi dan strategi revolusi, oleh karena itu pertahanan mulai diarahkan pada pengembangan strategi untuk menghadapi “perang regional dan terbatas”. Dan pengembangan strategi pertahanan nasional ialah atas dasar pertahanan secara aktif yang lebih komprehensif. Sehingga grand strategy China ialah memanfaatkan seluruh kapabilitas negara untuk mencapai tujuan politik dengan pembangunan ekonomi dan peningkatan kapabilitas militer, sumber daya alam, dan manusia; ialah untuk menjamin kelangsungan efektifitas dari kekuatan militer yang dipacu kekuatan moral rakyat dalam rangka melemahkan perlawanan musuh.
Pengembangan strategi dengan pendekatan tidak langsung, dimana ada usaha untuk menggoyahkan keseimbangan “musuh” secara psikis dan fisik, sehingga “kurang mampu” untuk memberikan perlawanan. Ini terkait dengan Doktrin Perang di China, yakni Perang Rakyat (Mao Zedong) dan Perang Rakyat Moderen (Den Xiaopeng). Keduanya menekankan aspek pertahanan teritorial dalam kebijaksanaan keamanan China. Namun doktrin yang moderen menuntut China untuk mampu menahan serangan musuh dan mengubah perimbangan kekuatan.
Ketiga, Comprehensive National Power (CNP) adalah konsep yang penting dalam pemikiran politik kontemporer China dan merujuk pada kekuatan secara umum (tangible or intangible)dari sebuah negara. Tidak seperti kebanyakan konsep kekuatan politik Barat, bagi China, CNP dapat diperhitungkan secara matematis dan terdapat serangkaian indikasi yang bertujuan untuk mengukur kekuatan suatu negara. Prediksi ini termasuk perhitungan faktor militer (hard power) dan faktor ekonomi serta budaya (soft power). CNP diketahui sebagai konsep dasar politik China.Tujuan utama China adalah untuk memaksimalkan CNP-nya.
Keempat, China juga dilandasi oleh suatu teori pembagian dunia yaitu “Teori Tiga Dunia” oleh Mao Zedong. Dalam teori ini kawasan Asia-Pasifik menempati prioritas tertinggi sebab negara-negara kunci yang terlibat langsung dengan kepentingan China secara geografis terletak di kawasan ini. Uni Sovyet dan AS digolongkan dalam dunia pertama. Kemudian Jepang, Eropa, dan Kanada dalam dunia kedua; dan negara negara sedang berkembang seperti negara-negara anggota ASEAN dan seluruh Afrika digolongkan dalam dunia ketiga, begitu pula didalamnya ada China. China ingin membentuk suatu persatuan guna menghadapi kaum imperialis dan hegemonis, sehingga persatuan dunia ketiga dimaksudkan untuk menghadapi baik dunia pertama maupun kedua. Untuk itu, sejak awal 1970-an politik luar negeri China lebih mengedepankan kepentingan keamanan dan kepentingan ekonomi daripada kepentingan ideologi.


IV. Pembahasan

China merupakan salah satu negara terbesar di Asia. China telah menampakan kekuatannya dari berbagai bidang, salah satunya adalah militer. Militer di China telah berkembang pesat tidak seperti negara-negara di Asia lainnya. Sebagai negara yang menduduki peringkat pertama di dunia dalam jumlah penduduk, maka China akan mudah untuk mendapatkan sumber daya manusia yang akan membantu kemajuan bagi negaranya. Banyak keunggulan China jika dibandingkan dengan “tetangga-tetangganya” di kawasan Asia, ekonomi adalah salah satunya, dimana dengan kemampuan ekonomi yang menguat, semakin memperbesar kemampuan finansial China yang dialokasikan untuk perkembangan militer. Saat ini China telah meningkatkan kapabilitas militernya dengan bekerja sama dengan negara lain, tentunya hal ini sangat mencolok dan pastinya AS tidak akan menyukai perkembangan China.
Tujuan strategis politik luar negeri China antara lain adalah untuk melindungi kemerdekaan, kedaulatan, dan keamanan China. Hal ini ditopang oleh pembangunan ekonomi dan teknologi militer salah satunya, untuk memberi respons pada tantangan dan ancaman dari dalam dan luar wilayah. Kesemuanya ini dilakukan agar bisa mencegah konflik internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi China secara signifikan.
China pernah merasa terganggu dengan ditandatanganinya Deklarasi Aliansi Keamanan untuk abad ke-21 antara AS dan Jepang di penghujung abad 21. Ini karena aliansi keamanan tersebut (nampaknya) ditujukan to contain bangkitnya kekuatan militer China, dimana AS-Jepang juga memperluas aliansi tersebut dengan mengajak kerjasama Singapura (2204), India (2006), dan Australia (Maret 2007). Untuk meredam bahkan meniadakan keberadaan aliansi AS dan Jepang, China menjalankan strategi diplomatik yang mendukung penuh rezim keamanan multilateral di kawasan Asia-Pasifik yakni ASEAN Regional Forum (ARF). Namun, di awal tahun 2003 AS menyatakan membuka kembali program “perang bintangnya” (star wars) yang digabungkan dengan rencana pembangunan sistem pertahanan rudal nasional (national missile defense system) di wilayah nasional setiap negara sekutunya seperti di Jepang, Inggris, Korea Selatan, dan Australia untuk menghadang China.
Kondisi ini memaksa China untuk mempercepat proses moderenisasi sistem pertahanannya. Karena itu yang pertama kali diincar China adalah kemampuan menembak sasaran musuh di ruang angkasa. Hal itu karena dalam kalkulasi militer baik strategi pertahanan perang bintang maupun sistem pertahanan rudal nasional AS dan sekutu-sekutunya hanya dapat dipatahkan secara dini di luar angkasa. China merasa, sudah waktunya AS (sang imperalis dan hegemon) keluar dari kawasan Asia dan ingin membuat AS tak lagi mempunyai kekuatan yang mampu “menggoyang” negara atau kawasan-kawasan lainnya.

IV.1. Alasan Pengembangan Militer China

Secara internal yang mendasari China dalam membangun militer yang lebih modern di China adalah dalam mempertahankan kedaulatan dan wilayahnya. Dilihat dari segi histori, China menjadi sangat traumatik akan keterpaksaan menerima dan mengakui eksistensi negara-negara Barat (begitu juga dengan Jepang) ke wilayahnya. Semenjak Perang Candu (1839—1842) dengan Inggris dan perkembangan teknologi, ekonomi, budaya, serta politik Barat; pola tradisonal yang tadinya berlaku di China mulai goyah, dimana kemampuan Kaisar merosot sehingga menyebabkan aneka pemberontakan di dalam negeri dan gangguan Barat. Kemudian pergumulan melawan tekanan Barat, dan paksaan untuk mengakui superioritas militer asing, semakin menjadi-jadi. China bahkan menandatangani perjanjian yang tidak seimbang karena China tidak mampu untuk melindungi wilayahnya dari invasi asing. Sehingga akhirnya sebagian besar wilayah China diklaim oleh negara-negara Barat.
Sedangkan jika dilihat dari segi eksternal, permasalahan China dengan Taiwan yang awalnya merupakan masalah internal kemudian meluas menjadi masalah dunia internasional. Walaupun eksistensi Republik Rakyat China (RRC) diakui, tetapi AS justru memihak Taiwan. Meskipun hingga kini AS selalu melindungi Taiwan, namun China terus berusaha untuk mengembalikan Taiwan ke dalam wilayah kekuasaannya. Karena hanya ada satu China di dunia, dan Taiwan adalah bagian dari kesatuan wilayah China. China telah mengesahkan undang-undang antipemisahan, yang memberi wewenang kepada pasukan militer China menyerang Taiwan. Ini terutama karena undang-undang itu dapat digunakan China sebagai pijakan legal untuk menyerang Taiwan, sehingga kemungkinan berperang melawan AS karena Taiwan semakin besar. Belum lagi “paksaan” China terhadap dunia internasional agar tidak melakukan hubungan diplomatik apapun dengan Taiwan.
Kemajuan ekonomi dan militer China menciptakan pandangan masyarakat dunia menjadi ambigu. Di satu sisi, menimbulkan kekaguman atas pembangunan ekonomi China yang begitu dinamis; di sisi sebaliknya, banyak pula yang mencemaskan pembangunan ekonomi China. Ini karena kemajuan ekonomi China menyebabkan mereka menjadi semakin mumpuni dalam perkembangan (peningkatan/pembelian) militernya. Kawasan takut akan menjadi “korban” persaingan, terutama antara China-Jepang, Taiwan, dan AS.
Munculnya China sebagai major regional power akan meningkatkan persaingan dengan negara-negara di Asia, khususnya yang menjadi “kesayangan” AS, dan memicu potensi konflik bersenjata (terutama dengan Taiwan). Ini karena diyakini oleh banyak pihak bahwa tindak tanduk China sebagai sebuah negara di Asia-Pasifik (akan) ditentukan oleh faktor eksternal terutama sikap dan kebijakan AS dan Jepang, sebagai anak emas baik individu maupun aliansi serta kedaulatannya atas Taiwan. Faktor China dalam hubungan segitiga AS-Jepang-China akan menentukan situasi politik, keamanan dan ekonomi kawasan Asia-Pasifik.

IV.2. Kapabilitas Militer China

China dan Rusia merupakan dua negara berpaham komunis, dan bukan merupakan kebetulan yang aneh ketika keduanya berkolaborasi dalam rangka peningkatan kapabilitas militer China. Rusia merupakan negara pilihan utama untuk dijadikan tandem karena selain dianggap “satu aliran”, negeri beruang merah tersebut dirasa pantas dalam mendampingi China ketimbang negara major power lain yang semata berorientasi menyebarkan hegemoninya. Pada tahun 2005, mereka mengadakan latihan militer pertama yang diikuti oleh hampir sebagian besar tentara mereka. Latihan militer tersebut menggunakan 140 kapal perang.
Latihan militer yang dilakukan kedua negara tersebut merupakan salah satu usaha dalam menguatkan kapabilitas militer dan juga melindungi stabilitas keamanan regional mereka. Hal Ini membuat dunia lebih siap bahwa adanya perubahan yang datang dari Asia dan negara lain. Lagi-lagi, latihan tersebut ”menyatakan” kepada dunia bahwa masih ada kekuatan alternatif lain yang tidak harus berasal dari negara terbesar, terkuat, dan sangat hegemoni bersama aliansi nya.
Pengumuman anggaran pemerintah militer tahun 2007 adalah sejumlah $44,94 juta, bertambah 17,8%. Kini China dengan anggaran militer yang baru merupakan pasar yang potensial apalagi ditambah dengan keinginannya menambah kekuatan militer. Militer China terutama hendak menambah kekuatan kepada armada lautnya karena saingan China, AS, memiliki armada laut yang kuat dan unggul. Belum lagi letak geografis China yang berada di sepanjang Laut Kuning, Laut China Timur, dan Laut China Selatan menjadikan hal tersebut menjadi wajar untuk mempertahankan kedaulatan wilayah.
Keberhasilan demi keberhasilan yang diperoleh China menyiratkan bahwa China sudah berada pada tahap akhir dari strategi besar kepentingan nasionalnya yang dirancang sejak tahun 1970-an. Maka itu AS menjadi khawatir bahwa pada akhirnya nanti China akan “menyemangati” negara-negara di kawasan Asia lain yang akan saling membantu untuk mendirikan kekuatan lain. Kehilangan kekuasaan adalah ketakutan terbesar AS, sehingga membuat China menggunakan strategi yang tidak hanya mengganggu secara
tangible melainkan juga secara intangible.
Kemampuan China membeli persenjataan dalam jumlah besar semakin tinggi seiring dengan kemajuan ekonominya. Kenyataannya, pembangunan ekonomi yang cepat telah mendorong pula pembangunan bidang militer. China ingin meningkatkan kekuatan militernya untuk menjaga kepentingan ekonomi dan perdagangannya. Hingga kini China adalah negara di Asia yang menentang dan tidak menyukai ekspansi dari (kekuatan) AS, apalagi dengan terganggunya one China policy di dunia internasional.
Kapabilitas militer China juga termasuk dalam kepemilikan teknologi Kapal Selam; inovasi Pesawat Tempur multi fungsi; dan Kekuatan Pasukan Darat (dengan peningkatan kemampuan dan perangkat serta sistem persenjataan yang semakin maju). Tidak asing lagi, dalam kawasan ini juga sudah mulai mengadopsi targeting system dengan tingkat akurasi tinggi. Hal ini terlihat juga pada kecenderungan meningkatnya rudal darat-darat, disamping improvisasi pertahanan udara dengan basis darat maupun laut.
Kapabilitas militer China juga semakin mengeksploitasi kemampuan inovasi dengan penggunaan bahan-bahan dan teknologi canggih. Belum lagi program pengembangan senjata nuklir yang merupakan bidang yang memperoleh perhatian yang cukup besar dalam kebijaksanaan pertahanan China. Setiap tahun China mengalokasikan sekitar 5% dari dana anggaran pertahanan untuk program pengembangan persenjataan strategis.
China bahakan akan menjadikan AS sebagai target serangan rudal nuklir apabila AS mengintervensi konflik di Selat Taiwan. China kini tengah memperluas kekuatan rudal nuklir dan memungkinkan kekuatan ini menjangkau banyak kawasan dunia di luar Pasifik. Rudal yang kapasitasnya dapat menjangkau target di India dan Rusia sebenarnya juga bisa menjangkau seluruh AS, hingga ke selatan Asia-Pasifik seperti Australia dan Selandia Baru. Namun AS tidak menentang upaya China untuk meningkatkan persenjataan militernya, menurut sang Menteri Pertahanan.
Berikut adalah peningkatan kapabilitas militer yang dimiliki China di beberapa aspek:
1. Dalam angkatan laut, China menaruh perhatian khusus—ini juga karena keterkaitan kapal perang AS yang kerap mondar mandir di wilayah perairan Asia dan letak geografis China yang berbatasan langsung dengan laut. Diantaranya adalah dengan pemesanan kapal yang dilengkapi dua unit rudal penghancur kelas Sovremenyy (Proyek-956), selain itu kapal ini dilengkapi dengan senjata rudal SS-N-22. Kedua, pembuatan dan upgrading delapan buah kepal selam yang dilengkapi dengan rudal jelajah anti-kapal dan torpedo VA-111 Shkval. Kapal-kapal selam China pun kini telah dilengkapi dengan teknologi propulsi air-independent yang menjadikannya mampu diam dan menunggu dibawah permukaan air dalam waktu lama untuk mengejutkan pihak lawan.
2. Selain angkatan laut, China juga didukung oleh kekuatan angkatan udara yang cukup kuat, diantaranya sekitar 800 unit pesawat tempur termasuk didalamnya pesawat pembom, pesawat serang darat, pesawat patroli maritim, dan helikopter. Angkatan udara China memiliki kekuatan sekitar 250.000 personil yang mengoperasikan sekitar 3.000 pesawat tempur dan juga mempunyai 600—800 sistem rudal. Angkatan udara China adalah yang terbesar di Asia dan ketiga terbesar di dunia.
3. Secara personil, China memiliki pasukan Korps Marinir. Korps Marinir utamanya terdiri dari dua Brigade bersenjata gabungan dengan 6.000 personil yang ditempatkan pada Armada Laut Selatan. Termasuk infantri, artileri, kavaleri, zeni, komlek, han nubika, anti-tank, dan personil kawal. Korps Marinir memiliki dua rantai komando pararel, yaitu operasional dibawah komandan Armada Laut Selatan dan administrasi dibawah komando Markas Besar angkatan laut di Beijing (untuk latihan, peralatan, perencanaan, personil dan kebijakan).
4. Program senjata nuklir China merupakan salah satu yang tersukses dari negara-negara pengembang nuklir. Kekuatan nuklirnya sangat efektif. China juga berhasil mengembangkan infrastruktur dan fasilitas rancang bangun, pembuatan, pengujian dan pabrikasi sistem rudal nuklir taktis. Secara general China memiliki sekitar 400 warheads rudal balistik. Yang dirancang untuk (diantaranya) penggunaan taktis seperti bom yang dijatuhkan dari pesawat udara dan ranjau darat nuklir.
5. China merupakan salah satu pemain teknologi angkasa luar selain Amerika Serikat, Rusia dan beberapa negara Eropa Barat; diantaranya telah berhasil meluncurkan satelit-satelit telekomunikasi dan melaksanakan misi penerbangan manusia keluar angkasa (dua kali pada 2005). China pun melakukan investasi besar dalam pengembangan dan pengerahan sistem berbasis angkasa luar, yakni dengan menempatkan satelit telekomunikasi militer diruang angkasa, dan dua buah satelit telekomunikasi ganda (untuk keperluan sipil dan militer).


V. KESIMPULAN

Untuk menjaga kestabilan perdamaian di Asia Timur, masih dibutuhkan usaha dari masing-masing organisasi, pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan dialog. Demi berjuang untuk menjaga perdamaian dan ketenangan wilayah Asia Timur, masyarakat internasional dan PBB harus mengantisipasi dan mengambil tindakan yang membangun. Dengan demikian ”persaingan” di kawasan yang semakin meningkat dapat diatasi. Tugas utama adalah bahwa regional harus aktif untuk ikut serta dalam dialog, meningkatkan keterbukaan militer dan membangun rasa saling percaya. Karena menjaga keamanan dunia dan mengupayakannya, adalah bukan tugas yang mudah.
Meskipun alasan China yang mengembangkan militernya terbagi dalam dua faktor (internal dan eksternal), namun kenyataan yang tersibak ialah bahwa mereka sangat concerned dengan masalah wilayah akibat kesalahan perjanjian yang tidak seimbang di masa lalu. Dengan menjunjung tinggi konsep one China policy pulalah yang membawa mereka akhirnya pada kenyataan bahwa yang mereka lakukan sekarang ini adalah untuk menangkal serangan dari ”tatanan” yang ada in order to ruin China’s order. Apalagi perkembangan kapabilitas militer China yang luar biasa signifikan telah mampu menimbulkan kecemasan di kawasan. Ini semua terutama dipicu oleh makin tingginya pengembangan nuklir yang dilakukan oleh China, sehingga isu yang ada kini bergeser bukan hanya militer namun juga nuklir.
Sungguh kita harus mengambil langkah cepat untuk menghapuskan atau membatasi pengembangan senjata pemusnah massal dan menahan konflik regional (dalam dan luar Asia), sehingga dapat meminimalisasikan risiko konflik global. Permasalahan keamanan memang merupakan persoalan yang pelik. Keterbukaan terhadap proyek pembangunan militer adalah mutlak, agar tidak terjadi ”kecemasan regional dan internasional”. Jadi sebelum semuanya terlanjur memburuk dan bahkan bisa membawa dunia ke situasi anarki, sebaiknya konsep pengembangan militer ini benar-benar untuk tujuan damai dan bukan menjadi pesaing hegemon lainnya. Karena seyogianya masalah keamanan dan persatuan adalah kepentingan yang utama bagi setiap negara, dan pertahanan nasional yang kuat akan mendukung keamanan nasional.
Penyimpangan mungkin akan terjadi. Hal ini disebabkan oleh karena pengembangan militer merupakan bagian dari kebijakan dan urusan dalam negeri pemerintah China. Namun, China juga diharapkan lebih fleksibel dalam menjalankan strateginya dengan mencari celah-celah lain yang lebih baik agar lebih dapat diterima oleh semua pihak. Meski menurut China tidak melulu militer yang dapat membuat kawasan mencekam, tetapi bisa melalui ekonomi. Peningkatan kualitas secara wajar akan meningkatkan keadaan ke situasi yang lebih baik.

Daftar Pustaka

Internet:

http://www.geografiana.com/dunia/politik/jika-as-china-perang-bagaimana-australia-3

http://www.irib.ir/worldservice/melayuRADIO/kalender_sejarah/agustus/19agustus.htm

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/20/opini/1760661.htm

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/022007/14/0902.htm

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/042007/20/0903.htm

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0603/10/lua02.html

http://www.tniad.mil.id/artikel2.php?id=11

Literatur:

John Baylis and Steve Smith. 2001. The Globalization of World Politics. Oxford

University Press Inc.: New York.

Frank W Moore. 2000. China's Military Capabilities. IDDS Research Analyst:

Cambridge.

Rizal Sukma1995. Pemikiran Strategis China: Dari Mao Zedong ke Deng Xiaoping.

Centre for Strategic and International Studies CSIS: Jakarta.

_______. 1999. China. New Star Publishers: Beijing.

1 komentar:

  1. Ada inkonsistensi antara judul dan fokus pembahasan Anda. Bahkan research question Anda tidak ditanyakan tentang "alat diplomasi. Bagaimana Anda menunjukkan bahwa pengembangan militer merupakn instrume diplomasi?

    BalasHapus